*Brian Samosir, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pakuan

Perkembangan peradaban adalah keniscayaan. Melalui serangkaian revolusi yang mencakup berbagai aspek, zaman mengikat manusia menuju era selanjutnya. Dimulai dari revolusi pertanian, agraria, industi, hingga revolusi informasi dan digital. Setiap tahapan mengubah cara hidup dan berinteraksi manusia, serta membentuk struktur sosial, politik, ekonomi, dan teknologi baru.

Di bidang industri, perubahan pun kian terjadi. Sejak Revolusi Industri 1.0 yang dimulai pada pertengahan abad ke-17, terjadilah perubahan paradigma dalam memandang persoalan produksi, pekerjaan, dan interaksi manusia dengan teknologi sederhana. Sampai kepada tahapan 5.0, era dimana terjadi peningkatan kemampuan manusia dalam memahami dan mempergunakan teknologi-teknologi yang lebih kompleks. Dari penemuan mesin uap sampai  hyperscale era yang melibatkan integrasi lebih lanjut antara manusia, mesin, dan algoritma yang canggih, serta perubahan fundamental dalam cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi.

Peradaban Jurnalisme

Jurnalisme pun begitu. Dia bukanlah aspek yang lepas dari perkembangan. Dunia jurnalisme mengalami berbagai pembaharuan sejak dikenalkannya surat kabar penanda dimulainya era cetak. Jurnalis bekerja mencari berita. Berbagai konten yang didapat, diolah melalui proses verifikasi, lalu dimuat, dan disebarluaskan dengan metode klasik. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kegiatan bertukar informasi berlangsung dengan cara yang lambat di masa lampau.

Era selanjutnya hadir melalui keberadaan radio dan televisi. Informasi kini hadir lebih cepat melalui berbagai kanal berita yang disiarkan baik melalui visualisasi suara ataupun video dan suara. Berita dapat disiarkan secara langsung dan mencapai audiens yang lebih luas dengan cepat.

Tak butuh waktu lama, dimana terjadinya pergantian era menuju nuansa yang lebih modern dan efisien. Era digital dan internet hadir, dimana akses kedalam dunia maya mulai diperkenalkan. Berita tidak lagi sebatas barang yang harus ditunggu di depan rumah melalui perantara loper koran atau menunggu jadwal tayang berita untuk mendapat informasi, tapi perkembangan zaman mengizinkan kita untuk mencari berita secara mandiri.

Era ini mengalami perkembangan yang cepat sehingga dalam kurun waktu singkat, seiring semakin canggihnya teknologi internet dengan kehadiran berbagai platform media yang menandai dimulai era media sosial. Informasi tidak lagi sebatas barang eksklusif yang dimiliki perusahaan berita tapi oleh setiap individu yang memiliki berbagai hal untuk dibagikan.

Cepat atau lambat kita pun akan berhadapan dengan era automasi dimana peran algoritma bisa menggantikan jurnalis dalam mengelola data dan informasi.

Menyoal Makna Jurnalisme

Jurnalisme mengacu kepada kegiata mencari, mengelola, dan menyebarkan infomasi. Peristiwa jurnalisme digawangi oleh jurnalis yang hadir untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Dibekali dengan kemampuan dan berbagai kode etik, setiap jurnalis dituntut atas sikap berintegritas, profesional, dan adil dalam menjalankan pekerjaan.

Pelanggaran terhadap aturan dan kode etik tentu menghilangkan standar profesionalisme dalam jurnalisme dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap media yang berujung pada konsensus berupa teguran, penghapusan artikel, hingga pemecatan dari pekerjaan.

Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa etika jurnalisme mengikat setiap insan jurnalis.

Kehadiran frasa jurnalisme partisipatif justru menciptakan pengertian baru, dimana jurnalis bukan semata-mata mereka yang terikat akan kode etik hingga berbagai aturan dari lembaga pemberi kerja tetapi justru bebas dari semua nilai dan standar.

Penambahan kata partisipatif menciptakan suatu ruang baru bagi insan masyarakat untuk turut berkontribusi sebagaimana kerja-kerja jurnalisme tapi tanpa suatu hal yang mengikat.

Era Demokrasi Digital

Jurnalisme kerap disebut sebagai “pilar keempat demokrasi”. Konsep pilar keempat ini mengacu pada kebutuhan akan kehadiran jurnalis yang independen, bebas, dan bertanggung jawab sebagai bagian integral dari demokrasi kekinian. Sebagaimana tiga pilar lainnya yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, jurnalisme dianggap ikut bertanggung jawab dalam memberikan informasi yang akurat, melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dan mengawasi kekuasaan.

Dengan dalil kebebasan berpendapat, era demokrasi yang didukung dengan peradaban yang dimodernisasi oleh teknologi telah turut andil dalam menciptakan gelombang partisipan dalam ruang jurnalisme.

Demokrasi digital memberikan kesempatan bagi masyarakat maya untuk terlibat secara langsung dalam proses politik, proses penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatkan aksesibilitas informasi serta komunikasi antara sesama warga, warga dengan penguasa, dan lain sebagainya. Hal ini memungkinkan partisipasi yang lebih luas, transparansi yang lebih besar, dan peningkatan akuntabilitas penguasa.

Masyarakat yang memiliki akses menuju sumber informasi yang beragam, dapat berpartisipasi secara aktif dalam menyuarakan pendapat, membagikan berita, berinteraksi dengan pembuat keputusan, bahkan menciptakan berita itu sendiri.

Jurnalisme Jalanan Di Ruang Informatif Yang Rawan

Secara beruntun, keberadaan alam demokrasi dalam ruang digital, besarnya asupan informasi dari berbagai aspek, dan hadirnya masyarakat partisipatif, justru menghadirkan suatu problematika yang belum pernah dihadapi dalam revolusi-revolusi peradaban sebelumnya.

Cepatnya arus informasi dan tersedianya platform bebas dalam menyampaiakan suatu berita justru menciptakan masyarakat partisipatif bergaya jalanan. Beritanya patut dipertanyakan dari segi kualifikasi sampai keabsahan informasi. Memang tidak semua, tapi ketiadaan aturan atau suatu hal yang mengikat justru menghilangkan batasan selain semata-mata menurut sudut pandangnya sendiri.

Jurnalis partisipatif justru dapat bertransformasi sebagai agen penyalur informasi dan propagandis palsu.

Kritikan Terhadap Jusnalisme Partisipatif

Idealnya sebuah gagasan bermuara pada sesuatu niat yang positif. Gagasan mengikutsertakan warga masyarakat dalam ruang jurnalisme pun tentu diharapkan dapat menghadirkan ruang informasi yang lebih baik karena keterlibatan dan keanekaragaman sudut pandang.

Tapi realitanya, tidak sedikit kejadian dimana kebebasan tersebut memicu persoalan baru.

Kembali ke beberapa tahun silam, kala viralnya kasus Audrey, seorang siswi SMP di Pontianak yang disebut mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh belasan siswa SMA. Publik berbondong-bondong memberikan dukungan, mencari tahu pelaku, bahkan menciptakan narasi-narasi bebas tanpa suatu pembuktian, validasi, dan konfirmasi, yang justru menciptakan pandangan bias terhadap poin persoalanya. Belum dengan dukungan dari berbagai publik figur yang turut “memeriahkan” suasana.

Pihak aparatur pun bertindak cepat, akibat dorongan massa yang begitu gencarnya.

Sayangnya, setelah dilakukan penyelidikan ditemukan fakta bahwa video tersebut adalah rekaman palsu. Audrey sendiri tidak pernah menjadi korban kekerasan dan penganiayaan.

Tagar #JusticeForAudrey yang semula disemarakkan netizen sebagai bentuk dukungan kemudiah berubah menjadi #AudreyJugaBersalah. Ini merupakan suatu contoh kecil dimana partisipasi tidak selalu mendatangkan kemanfaatan.

Bukan untuk melarang keikutsertaan masyarakat tapi semata-mata mendorong terciptanya ruang demokrasi yang sehat.

Kebebasan Yang Terukur

Kebebasan tanpa aturan adalah kediktatoran yang dibiarkan. Sebuah pemikiran inspiratif dari Presiden ketiga Amerika Serikat, Thomas Jefferson yang menyuarakan kekhawatirannya atas kebebasan yang tidak dibatasi oleh suatu norma, kaidah, pun aturan. Jefferson percaya bahwa kebebasan individu harus dijalankan melalui tanggung jawab dan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh hukum.

Hal ini sebagai pengingat akan pentingnya mempertahankan keseimbangan antara kebebasan individu dan kebutuhan akan aturan yang berlaku, guna mencegah penyalahgunaan kebebasan yang dapat membawa dampak negatif pada masyarakat secara keseluruhan.

Lantas dalam persoalan ini, partisipasi para jurnalisme masyarakat tentu perlu mendapatkan perhatian khusus dari berbagai aspek yang bisa dimaksimalkan.

Tindakan sederhana dapat dimulai dengan pengembangan platform partisipatif dimana media-media memberikan ruang khusus bagi masyarakat dalam mengaspirasikan pandangannya melalui kolom pombaca, forum online, atau platform tersendiri. Hal ini memang sudah dilakukan oleh banyak pihak, tinggal bagaiamana partisipasi masyarakat tersebut bisa terdistribusi dengan cara yang tepat melalui proses verifikasi.

Mengadakan pelatihan dan workshop juga bisa menjadi salah satu tindakan yang baik. Media dapat menyelenggarakan pelatihan dan workshop untuk membantu masyarakat memahami prinsip-prinsip jurnalisme sampai keterampilan teknis yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam proses jurnalisme

Sebuah ruang yang sehat dan pelatihan berkala tentu akan meningkatkan kualitas dan kapabilitas setiap jurnalis partisipatif. Tapi, hal ini pun belum sepenuhnya dapat mengikat setiap partisipan karena prosesnya yang bersifat menyortir.

Maka dari itu, setiap tindakan jurnalis partisipan haruslah diikat dalam sebuah skema berbentuk panduan, kode etik, hingga aturan dalam bentuk undang-undang. Hal ini yang disebutkan Jefferson sebagai kebebasan yang bertanggung jawab yang tidak boleh dijadikan sebagai suatu alasan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang atau mengeksploitasi.

Aturan juga dibutuhkan sebagai suatu batasan dalam jurnalisme partisipatif.

Panduan ini harus mencakup etika, standar editorial, dan prosedur pengajuan konten untuk memastikan bahwa partisipasi masyarakat tetap sejalan dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang berkualitas. Dan aturan yang dikeluarkan juga merupakan suatu konsensus yang tidak hanya bersifat mengikap tapi juga memiliki unsur menghukum.

Dengan itu, kehadiran jurnalis partisipan dapat dirasakan manfaatnya karena didukung oleh kulaifikasi dan standar yang memadai.

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *