Sebuah permenungan memaknai Tahun Baru

Oleh: Pdt. Humala Lumbantobing, M.Th  (Sekjen GKPI)

Sejak 1 Januari 2023 kita telah memasuki tahun baru yang merupakan tahun Masehi. Berbagai kemeriahan mewarnai suasana di sekitar kita. Bahkan kita sendiri barangkali ikut ambil bagian untuk melahirkan kemeriahan itu, mulai dari meniup terompet, main petasan, menghidangkan makanan dan minuman enak, mengorganisir hiburan, ikut berkonvoi, dan sebagainya.  Dalam  euforia tahun baru  itu, kita juga menikmati kebersamaan dengan keluarga, saling berjabat tangan dan menyampaikan Selamat Tahun Baru (Happy New Year) sembari saling memaafkan antara yang satu dengan yang lain.1 Sebaliknya ada banyak orang yang memandang Tahun Baru sebagai momen untuk hura-hura, mabuk-mabukan, menikmati dugem bahkan melakukan tindakan-tindakan kriminal dan anarkis. Bagi kaum hedonis, malah momen seperti itu adalah suatu hal yang dinanti-nantikan. Nampaknya selama kita hidup di dunia, nuansa-nuansa yang demikian terus menerus berulang dari tahun ke tahun. Parahnya, tahun berganti tahun tidak ada membawa suatu pembaruan bagi hidup kita. Tahun Baru hanya datang dan lewat begitu saja tanpa meninggalkan sesuatu yang berarti. Dalam hal ini, bagaimanakah kita sebagai umat Kristen menyambut Tahun Baru dan bagaimanakah momen itu menjadi suatu hal yang transformatif dalam hidup kita? Pertanyaan-pertannyaan itu mengarahkan kita untuk memahami Tahun Baru dari sudut Alkitabiah. Namun sebelum itu, kiranya kita perlu pertama sekali melihat sekilas sejarah Tahun Baru.

SEKILAS SEJARAH TAHUN BARU

 Menurut sejarah, Tahun Baru sesuai dengan penanggalan Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Agustus, menjadi bulan Agustus.

 Tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia. Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut. Bagi orang Kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut Tahun Masehi.

Dalam rangka perayaan Tahun Baru itu,mengapa ada tradisi membuat harapan atau resolusi tiap tahun baru? Diyakini, tradisi ini sudah ada sejak jaman bangsa Mesopotamia di kota Babylonia, lalu tradisi itu menyebar dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Orang-orang Eropa di jaman-jaman kuno (jaman dimana negara masih sangat tunduk dengan suara gereja), percaya bahwa di hari pertama tahun baru, harus diisi dengan mengenang kesalahan-kesalahan pada masa lalu, dan memikirkan bagaimana untuk bisa lebih baik di tahun yang akan datang. Resolusi seperti itu kemungkinan besar berkaitan dengan latar belakang wajah dewa Janus, dewa segala gerbang bangsa Romawi, namun maknanya telah diisi dengan nilai kekristenan. Dalam sebuah Encyclopedia disebutkan bahwa: “Penguasa Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad ke 46 SM. Sekaitan dengan itu Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah – sebuah wajahnya menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu.” 5 Kaum Pagan (= sebutan Kafir pada waktu itu)  sendiri biasa merayakan tahun baru mereka (atau Hari Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan kembang api, dan bernyanyi bersama. Kaum Pagan di beberapa tempat di Eropa juga menandainya dengan memukul lonceng atau meniup terompet.

 Pada masa abad pertengahan, Kekuasaan Kekristenan Eropa memberi makna religius di sekitar pergantian tahun seperti 25 Desember sebagai Hari Natal dan antara 22 dan 25 Maret sebagai perayaan Paskah. Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru pertama kali dilakukan pada 1582 oleh Paus Gregory XIII. Seiring muncul dan berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai suatu perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal. Itulah mengapa ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu (Merry Christmas and Happy New Year). Kini seluruh dunia turut merayakan pergantian tahun menyesuaikan dengan tradisi masing-masing. Misalnya saja orang Spanyol biasa makan anggur sebanyak 12 butir dan orang Belanda biasa menyajikan kue berbentuk cincin. Di New York, Amerika Serikat, memiliki tradisi menyaksikan jatuhnya bola raksasa di Times Square sejak 1907. Di Brazil pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil. Di Indonesia sendiri banyak orang merayakan detik-detik pergantian tahun baru dengan menyelenggarakan hiburan di berbagai tempat dan sambil meniup terompet dan meledakkan berbagai jenis petasan. Namun sehubungan dengan banyaknya suku di Indonesia, kebiasaan merayakan Tahun Baru tentu dilakukan sesuai dengan tradisi masing-masing.

WAKTU: KRONOS DAN KAIROS

 Tahun Baru adalah waktu yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia dan ciptaan lainnya. Karena itu untuk memahami makna tahun baru kita perlu mengetahui  dua konsep mengenai waktu dalam Alkitab, yaitu kronos dan kairos. Kronos (Yunani) adalah waktu yang dapat diukur dengan jam, hari, tanggal, bulan, tahun dan sebagainya; baik sebagai waktu jangka pendek seperti sekejap mata (Lukas 4: 5) maupun jangka panjang seperti puluhan tahun (Kis. 13:18). Dalam pengertian ini kronos dapat diartikan sebagai waktu dalam bentuk circle (lingkaran), yang berputar dan  terjadi secara berulang.  Kronos dapat juga dimengerti sebagai deretan peristiwa dan kemungkinan yang terjadi dalam hidup manusia. Oleh sebab itulah kita sering mendengar kata kronologi.

 Lain halnya dengan kronos. Kairos (Yunani) adalah waktu dalam arti waktu yang diberikan Tuhan dan yang di dalamnya terdapat kesempatan (Ibr. 11: 15) bagi kita untuk bertindak penuh kasih atau melakukan sesuatu yang penting atau bermanfaat bagi diri sendiri dan sesama (Rm. 13:11; Gal. 6: 10; Ef. 5: 15-16; Kol. 4: 5). Kairos juga dapat menunjuk kepada waktunya Tuhan bertindak untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia (Pkh. 3:11). Kata kairos juga berbicara tentang waktu tertentu (certain time) dan berbeda dengan waktu yang lain. Kalau waktu itu sudah lewat, tidak akan kembali lagi (mis. Rm.5:6). Waktu dalam pengertian kairos berbentuk garis lurus (line)  yang dimulai dari titik awal sampai akhir. Karena itu kairos berbicara tentang kesempatan dan momentum yang ada di waktu tertentu dan kalau sudah lewat kita tidak akan menemukannya kembali. Misalnya Paulus dalam suratnya ke Jemaat Galatia berkata: “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.” (Gal.6:10). Itu artinya bahwa kalau kesempatan (kairos) itu tidak digunakan, maka waktu (kairos) itu akan hilang. Kita juga membaca dalam Matius 25:1-13 perumpamaan tentang gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh yang menyongsong mempelai laki-laki. Lima orang gadis yang bijaksana memanfaatkan waktu dengan baik dengan membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka, sedangkan lima gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya tetapi tidak membawa minyaknya. Ketika mempelai laki-laki datang, kelima gadis yang bijaksana telah siap sedia menyongsongnya lalu mereka bersama-sama  ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup, tidak ada lagi pintu terbuka untuk gadis-gadis yang bodoh. Mereka sudah terlambat dan mereka tidak akan menemukan waktu (kairos) yang seperti itu lagi, sudah terlambat dan pintu telah ditutup. Sebab itu kita harus memperhatikan waktu pintu terbuka dan waktu pintu tertutup. Alkitab berkata, apabila Ia (Yesus) membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila Ia menutup, tidak ada yang dapat membuka. (Why. 3:7). Ada waktunya Tuhan membuka pintu masuk bagi kita dalam sebuah kesempatan. Bila mana kita tidak masuk, pintu akan tertutup. Pintu itu bisa sebuah kesempatan yang baik yang kita miliki, yang mungkin ada cuma sekali saja. Itulah kairos.

 Walaupun terdapat perbedaan makna, namun kedua kata tersebut (kronos dan kairos) sama-sama menunjukkan bahwa waktu adalah milik Tuhan dan berasal dari Tuhan.

Berdasarkan pemahaman ini kita boleh mengatakan bahwa Tahun Baru 2023 ini adalah kairos yang dianugerahkan oleh Tuhan bagi dunia. Tahun itu diberi-Nya sekali saja. Itu berarti tahun 2023 ini adalah tahun yang spesial dan unik bagi kita umat percaya. Tahun ini adalah sebuah kesempatan (kairos) untuk mengisi hari-hari hidup kita lebih bermakna lagi. Tahun 2023 ini adalah sebuah kesempatan untuk melayani Tuhan lebih luar biasa lagi.

BIJAK MENAJEMEN WAKTU

Kairos pada khususnya mengajak kita untuk menajemen waktu dengan bijak, berdaya guna, cermat dan tepat guna. Dalam pengertian ini termasuk juga penggunaan waktu yang seimbang dan utuh. Misalnya penggunaan waktu antara untuk keluarga, pelayanan, pekerjaan dan beristirahat. Keseimbangan dan keutuhan dalam pembagian waktu itu tergantung dari situasi pribadi masing-masing. Yang penting ialah bagaimana sikap menajemen waktu (kesempatan) yang diberikan Tuhan bagi kita dengan bijak, berdaya guna, cermat dan tepat guna.

Marion E. Haynes dalam bukunya edisi ketiga (2010) menuliskan ada lima tips untuk menajemen waktu secara efektif: 1) dengan membuat daftar dan menentukan prioritas sasaran dalam minggu pertama sampai minggu keempat dalam setiap bulannya, sehingga kita mendapati progress report yang dicapai selama kurun waktu seminggu itu. 2) dengan menggunakan daftar pekerjaan yang harus kita tuntaskan hari ini membuat kita menentukan skala prioritas. Kita harus mengatur mana yang lebih mudah dulu dikerjakan, dan disesuaikan dengan kondisi kita sendiri. 3) curahkan prioritas utama kita pada prioritas A atau yang paling penting. Dengan begitu kita menjadi fokus pada tujuan kita. 4), tangani tugas sekali, dan usahakan mengerjakan pekerjaan lainnya bila kita telah selesai. Jangan mengulang kembali pekerjaan yang sudah ditugaskan. Usahakan cukup sekali saja menuntaskannya. 5) terus menerus bertanya kepada diri sendiri untuk memperbaiki diri. Lakukan perenungan dari apa yang kita telah kerjakan, dengan begitu kita selalu mawas diri, dan mampu melakukan refleksi diri agar menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarian.

Dengan tips yang disampaikan oleh Marion tersebut, kita  dapat mengatakan bahwa manajemen waktu adalah sangat penting jika kita ingin hidup ini bermanfaat kepada sesama dan Tuhan. Manajemen waktu benar-benar adalah manajemen kehidupan.  Dalam pengertian waktu sebagai kronos benarlah apa yang dikatakan oleh Berhard bahwa waktu tidak tahan lama; ia tidak bisa disimpan. Waktu tak tergantikan; tidak aka nada yang bisa menggantikannya. Waktu tidak bisa diambil kembali; sekali ia hilang atau terbuang, kita tidak akan pernah bisa mendapatkannya kembali. Agar Tahun Baru 2023 ini betul-betul berharga bagi kita dan dapat membawa pembaruan bagi kita  maka tugas panggilan kita sebagai umat percaya adalah mangelola waktu dengan baik, bijak, cermat dan berdaya guna. Jauhlah kiranya sikap menunda-nunda waktu bagi kita karena sikap bermalas-malasan atau karena melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak bermanfaat. Yang penting ialah bagaimana kita menggunakan waktu (kairos) sebijaksana mungkin. Sehingga hidup dan kehidupan kita bermakna bagi sesama, gereja serta memuliakan Tuhan di tahun 2023 ini. Oleh sebab itu, sangat baik apabila kita merenungkan  seperti perkataan pemazmur, “ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian rupa sehingga kami mempunyai hati yang bijaksana.” (Mazmur 90: 12). Bijaksana berarti mau belajar dari masa lalu. Bijaksana juga berarti tidak ingin melewatkan waktu sedetik pun dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Setiap detik adalah momen penting bagi kita untuk berakar, bertumbuh dan berbuah dalam Kristus.

HIDUP DALAM KRISTUS

 Banyak dari antara kita yang memanfaatkan momen Tahun Baru sebagai titik awal untuk perubahan sikap maupun karakter. Segala perilaku yang buruk biarlah berlalu dan kini memasuki perilaku yang baru seiring dengan datangnya tahun yang baru. Dalam momen pergantian tahun, orang Kristen sudah terbiasa dalam tradisinya berkumpul di tengah-tengah keluarga, mengadakan kebaktian bersama dan melakukan refleksi di penghujung tahun dan di awal tahun. Antara yang satu dengan yang lain saling maaf-maafan dan berkomitmen untuk memulai hidup baru di tahun yang baru. Nampaknya tidak cukup dengan tekad untuk hidup dalam kebaruan sebab tidak lama sesudah 1 Januari perilaku dan kebiasaan buruk di tahun-tahun yang lalu toh juga muncul. Mengapa terjadi hal yang demikian? Menurut Thomas J. Sappington, ada tiga kuasa yang sering mempengaruhi orang-orang percaya sehingga tidak mampu konsisten dengan komitmen hidup barunya, yaitu dunia, iblis dan keinginan daging. Dunia yang dimaksud di situ adalah sistem nilai dan cara hidup dunia pada zaman ini. Sistem nilai dan cara hidup  ini jelas jauh berbeda dengan sistem nilai dan cara hidup kita sebagai orang Kristen. Menurut Paulus, ketika kita belum percaya kepada Yesus Kristus, kita tidak hanya dikendalikan oleh dunia, tetapi juga iblis (setan). “Karena kamu menaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.” (Ef.2:2). Di balik dunia ini terdapat kuasa yang kuat, jahat, dan sangat licik, yaitu setan yang pasti bekerja dalam proses pembentukan sistem nilai dan cara hidup duniawi melawan Allah. Selanjutnya, sebelum kita percaya kepada Yesus, kita dikendalikan bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Menurut Paulus, “Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat” (Ef.2:3).  Jadi sebelum kita percaya, kehidupan kita dikuasai oleh “keinginan daging”. Kita melakukan dosa berulang-ulang karena memang ada kecenderungan yang kuat dalam daging kita untuk melakukan dosa. 

 Selama orang-orang percaya hidup di bumi ini,  kuasa dunia, iblis dan keinginan daging masih sering menjadi tantangan dan ancaman. Hal yang demikian juga dihadapi oleh setiap kita yang berkomitmen untuk memiliki hidup baru secara khusus di tahun yang baru. Dalam hal ini kita perlu sadar dan bijaksana dalam menghadapi ketiga tantangan itu. Oleh karena itu hidup dalam Kristus adalah sebuah keharusan bagi kita. Di situlah kita memperoleh pembaruan hidup yang kita peroleh dalam Dia. Paulus mengatakan: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Kor.5:17). Pembaruan hidup hanya ada dalam Kristus. Di luar Kristus kita tidak memiliki pembaruan itu. Yesus bersabda: “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantinya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak berbuat apa-apa.” (Yoh.15:5). Jika kita rindu untuk hidup dalam kebaruan menjalani tahun baru ini maka hidup kita harus terus terhubungan (connected) dengan Yesus. Karena itu tetaplah hidup dalam Kristus.

MELIBATKAN TUHAN DALAM PERENCANAAN

 Di awal tahun baru, kita biasanya membuat berbagai perencanaan (planning) yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun itu. Malah jauh sebelum tahun yang baru rencana-rencana itu telah ditetapkan baik secara personal, keluarga, gereja maupun berbagai organisasi lainnya. Tujuan utama perencanaan ialah menjamin bahwa program sekarang dapat digunakan untuk meningkatkan kesempatan untuk mencapai sasaran dan tujuan masa depan, yaitu meningkatkan kesempatan untuk membuat keputusan yang lebih baik pada masa kini yang berdampak pada pelaksanaannya pada masa depan.Banyak orang optimis dengan perencanaan yang telah ditetapkan sebab strategis untuk mewujudkannya telah dipersiapkan dengan baik. Namun banyak juga rencana-rencana yang telah ditetapkan itu tidak berhasil yang disebabkan oleh beberapa faktor. Terkadang faktor penyebabnya tidak bisa diprediksi sebelumnya atau di luar kendali manusia, misalnya adanya bencana, faktor politik, dsb. Ketika rencana-rencana tidak berhasil maka akan membuat diri mereka  menjadi stress, depresidan bahkan putus asa.

 Sebagai orang percaya, kita memang perlu  mempersiapkan rencana-rencana yang indah setiap tahunnya dengaan perencanaan yang matang. Tetapi yang perlu kita ingat adalah sebaik apapun rencana-rencana kita, kita harus melibatkan Tuhan di dalamnya. Janganlah kita hanya mengandalkan kekuatan dan kepintaran kita sendiri. Nasihat Rasul Yakobus sangat perlu kita perhatikan: “Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” (Yak.4:13-15).  Dalam hal ini ketika kita membuat perencanakan maka harus ada kesadaran bahwa Tuhanlah yang menentukan berhasil atau tidaknya. “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHAN-lah yang menentukan arah langkahnya.” (Ams.16:9). Karena itu sebagai umat percaya ketika kita membuat perencanaan-perencanaan itu perlu kita mengatakan dan mendoakannya: “Jika Tuhan menghendakinya” (Latin: O Deo volente). Sehingga ketika perencanaan itu berhasil dilakukan maka kita akan bersyukur, sebaliknya ketiga gagal kitapun akan siap menerimanya sembari mengatakan: “Bukan kehendak Tuhan!”. Lalu kita pun akan selalu berpikir positif akan hasil akhir yang kita peroleh baik sukses maupun gagal.

KESIMPULAN

 Di tengah sukacita Tahun Baru 2023 ini kita mengharapkan adanya nuansa baru, semangat baru, etos kerja baru atau sesuatu yang baru (something new), terutama kebaruan dalam hidup kita sebagai umat percaya. Kita merindukan Tahun Baru ini sungguh-sungguh transformatif dalam segala aspek kehidupan kita terutama pembaruan dalam spiritualitas kita. Agar kita mampu melihat dan menikmati pembaruan itu, hendaklah tahun baru 2023 ini kita sambut sebagai waktu kairos yang diberikan oleh Tuhan. Tahun Baru ini adalah istimewa, spesifik dan merupakan tahun anugerah yang terjadi sekali dalam sejarah dan tidak akan kembali lagi. Karena itu kita perlu mengelola waktu Tuhan ini dengan bijak,  berdaya guna dan tepat guna.

 Selanjutnya pembaruan hidup akan kita nikmati ketika kita tetap hidup dalam Kristus. Dalam hal ini hidup kita harus berpusat kepada Kristus (kristosentris) dan terus terhubung (connected) kepada Kristus. Ajakan ini sangat penting sebab kita sadar akan adanya tantangan dari kuasa dunia, iblis dan keinginan daging kita. Kita percaya dengan kuasa Kristus kita akan mampu menghadapi kuasa-kuasa itu sehingga kita akan tetap merasakan hidup berkemenngan. Kesetiaan hidup dalam Kristus akan memampukan kita menjadi agen-agen pambaruan di tahun 2023 ini. Mari menjalani Tahun Baru ini dengan sukacita. Bersama Tuhan kita akan dimampukan untuk menjalaninya. Selamat Tahun Baru bagi kita semua!


1 Konon kemeriahan Perayaan tahun Baru seperti itu bukanlah suatu yang baru bahkan sejak pada permulaan milineum ketiga di Babilon dan juga di negara-negara Eropa.

2 https://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Baru, disakses tanggal 28 Des.2022

3 Itulah sebabnya penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti in the year of our lord) alias Masehi.

4 suryamalang.tribunnews.com/2016/12/3/inilah-asal-usul-orang-merayakan-tahun-baru, diakses 14 Des. 2018.

5 Sejarah Tahun Baru 1 Januari dari The World Book Encyclopedia tahun 1984, volume 14, halaman 237.

6 Sebagaimana dikutip oleh Benhard Limbong, Stop Mencari Uang (Jakarta: Pustaka Margaretha, 2012, hl.252

7 Benhard Limbong, op.cit, hl. 252

8 Thomas J. Sappington, Hancurkan Kuasa Iblis Dalam Diri Anda, (Yogyakarta: Andi Offset, 2013), hl.39.

9 Thomas J. Sappington, Op.Cit, hl. 40-41

10 R. Henry Migliore, Robert E. Stevens, David L.Loudon, Perencanaan Strategis Dalam Gereja Dan Pelayanan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hl.9

Categories: Artiel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *