Spiritualitas Liturgi

Mengupayakan GKPI Sebagai Pelayanan dan Persekutuan Liturgis

Pdt. Irvan Hutasoit, M.Th

(Sekretaris Bidang Teologi GKPI)

Pendahuluan

Dapat dipastikan bahwa kita akrab dengan istilah “Liturgi”. Dalam keakraban kita dengan istilah itu, di awal ini saya tegaskan bahwa cakupan “Liturgi” tidak hanya urutan atau susunan ibadah, atau istilah yang sering kita pakai “Tata Ibadah”. Kita perlu menyadari bahwa istilah “Liturgi” memiliki dua dimensi, yaitu spiritualitas yang berakar pada teologi liturgi dan praksis formal berliturgi. Saya menggunakan istilah praktis formal pada dimensi kedua merujuk pada susunan atau urutan ibadah (Tata Ibadah). Tulisan ini tidak membahas susunan atau urutan ibadah, tetapi dimensi pertama, yaitu spiritualitas yang berakar pada teologi. 

Pada dimensi yang pertama, kita tidak boleh terlalu semberono menyamakan teologi dan spiritualitas, meskipun ada irisan antara keduanya. Contohnya, berteologi tidak selalu berspiritualitas sebab bidang kajiannya jelas berbeda. Walau demikian, spiritualitas tidak bisa terpisah dari teologi karena keduanya memiliki irisan. Perspektif itulah yang akan dipakai dalam tulisan ini. Teologi liturgi menjadi akar spiritualitas GKPI untuk mewujudkan pelayanan dan persekutuan liturgis.

Mengupayakan tujuan seperti itu bukan hal yang mengada-ada bagi GKPI. Sederhananya, GKPI adalah gereja liturgis, setidaknya jika memakai perspektif praksis formal. Contoh, GKPI telah memakai tema mingguan serta kumpulan nas yang ada dalam Almanak. Selain itu, GKPI menggunakan Buku Agenda (Tata Ibadah) dalam pelayanan liturgisnya. Praksis formal itu dapat dipakai sebagai salah satu alat ukur untuk mengatakan bahwa GKPI adalah gereja liturgis. Walau demikian, apakah GKPI adalah gereja yang berliturgi? Menjawab pertanyaan ini, saya akan memakai spiritualitas liturgis sebagai dasar bagi GKPI mewujudkan gereja yang berliturgi dalam pelayanan dan persekutuan.

Teologi dan Spiritualitas

Di atas telah dijelaskan bahwa teologi dan spiritualitas adalah dua hal yang berbeda meskipun ada irisan antara keduanya. Saya tidak akan menjelaskan perbedaan keduanya, tetapi mengusulkan irisan antara teologi dan spiritualitas. Metode yang akan dihasilkan pada bagian ini akan digunakan untuk mengusulkan spiritulitas liturgi bagi GKPI.

Barangkali (jika saya tidak salah menduga) penggunaan istilah “spritualitas” terkesan minor dalam percapakan teologi di GKPI. Kita lebih banyak berkutat pada teologi padahal bagian akhir dari teologi adalah spiritualitas. Kata “Spiritualitas” dalam kekristenan diterjemahkan dari teks Perjanjian Baru, pneuma (Jastrzębski 2022, 203). Dalam teks Perjanjian Baru, terutama Injil dan tulisan-tulisan Paulus, Spiritualitas dihubungkan dengan dua hal, pemuridan dan tanggapan eksistensial seseorang terhadap panggilan anugerah Allah.(Jastrzębski 2022, 3) Di sini dapat dijelaskan bahwa Spiritualitas tidak terjebak dengan pendekatan intelektual dalam teologi, tetapi pada pemuridan melalui penyatuan keberadaan dalam panggilan anugerah Allah.

Kadangkala, ada hal yang wajib diantisipasi. Spiritualitas tidak bertujuan untuk memisahkan tubuh dan roh, seperti yang dilakukan oleh para petapa Kristen sebelum abad pertengahan. Pencapaian tertinggi Spiritualitas tidak terletak pada pada keterpisahan kehidupan dari unsur badaniah dan mengutamakan rohaniah. Spritualitas kekristenan justru mendorong manusia spiritualitas (pneumatikos) yang tidak memisahkan roh (pneuma) dan tubuh (soma) (Jastrzębski 2022, 3)

Seperti pendapat di atas bahwa spiritualitas Kristen terhubung dengan dua hal, pemuridan dan tanggapan eksitensial, maka spiritual memiliki sumber nilai. Spiritualitas ditentukan oleh relasi atau hubungan kita dengan sumber nilai tersebut (Delgado 2005, 158). Spiritualitas tidak terpisahkan dari koneksi personal terhadap makna, harapan, dan nilai-nilai eksistensial di luar dirinya (Jastrzębski 2022, 5). Ketika kita menempatkan perspektif spiritualitas itu dalam konteks kekristenan, maka sumber nilai adalah makna dan nilai eksistensial dalam Teologi Kristen.

Itulah irisan antara spiritualitas dan teologi. Teologi digunakan oleh spiritualitas sebagai sumber nilai. Spiritualitas yang merujuk pada sumber nilai, yang dalam kekristenan disebut dengan Teologi Kristen, akan membentuk cara dan jalan kehidupan (the way of life), atau formasi spiritualitas. Formasi spiritualitas tidak terpusat pada diri pribadi secara personal, sebab jika demikian maka yang terbentuk bukan manusia spritualitas, tetapi manusia asketis. Formasi spiritualitas adalah aktivitas yang mengubah tubuh, pikiran, dan jiwa secara personal (Venkataraman and Konwar 2019, 24), untuk menanggapi kehidupan komunal atau dunia. Maka jelas, spiritualitas bersifat partisipatif dan relasional, tidak terpenjara pada roh atau pikiran personal, tetapi mencakup aspek tubuh yang berkarya bagi dunia. Inilah kerangka yang digunakan untuk melihat spiritualitas liturgi.

Mengapa liturgi penting?

Arti dan Logika Liturgi

Yang menuntun kita membahas bagian ini adalah satu adalah tanda gereja menurut Martin Luther. Bagi Luther, tanda gereja adalah firman Tuhan diberitakan dan Sakramen dilayankan. Jika kita melihat bahwa kedua tanda itu ada dalam liturgi, tidak terkecuali bagi GKPI. Jika kita membaca Tata Ibadah Perjamuan Kudus Model B, kesatuan tanda itu telah muncul dalam satu praktik liturgi, yaitu Liturgi Firman dan Sakramen. Pada bagian ini, saya akan menjelaskan Teologi Liturgi yang mencakup arti dan logika liturgis.

Kata “liturgi” berasal dari bahasa Yunani, leitourgia, yangterdiri dari dua suku kata, ergon (noun)  artinya pekerjaan dan litos (adjective), artinya milik umat. Secara harafiah, leitourgia berarti pekerjaan untuk kebaikan bersama (Adam 1992, 3; White 2009, 13). Tradisi Yunani Kuno sudah lama memakai leitourgia untuk menjelaskan aktivitas masyarakat kota untuk melakukan pekerjaan baik demi kepentingan bersama yaitu penduduk kota. Perhatikan, bahwa leitourgi tidak terpisahkan dari ecclesia. Leitourgia adalah aktivitas bersama yang ada dalam ecclesia untuk ecclesia sendiri. Oleh karena itu, leitourgia  adalah sumber nilai kehidupan yang menggerakkan kebaikan dan cara hidup bagi ecclesia. Jika dihubungkan dengan kekristenan, liturgi adalah pusat kehidupan bergereja.

Salah satu rujukan kata leitourgia dalam tradisi Kristen adalah Septuaginta (Perjanjian Lama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani oleh 70 orang ahli Yahudi pada tahun 250-150 sM). Dalam Septuaginta, leitourgia menjelaskan aktivitas para imam yang memimpin ibadah di Bait Suci (Adam 1992, 3; Senn 2012, 5).Sementara ada bebera teks dalam Perjanjian Baru yang memakai kata leitourgia. Dalam Kisah Rasul 13:2 kata leitourgia diterjemahkan menjadi “ibadah”. Selain itu, Perjanjian Baru juga menggunakan leitourgia sebagai bentuk partisipasi untuk menolong atau membantu orang lain. Hal itu dapat dilihat dalam 2Korintus 9:12 ketika Paulus menjelaskan pelayanan jemaat yang dilayaninya di Makedonia dan Yunani untuk membantu orang miskin di Yerusalem, disebut dengan leitourgia (Senn 2012, 5).Dengan demikian, kata leitorugia terkait erat dengan pelayanan publik atau komunal, bukan personal.(“Strong’s Exhaustive Concordance: Greek 3009. Λειτουργία (Leitourgia)” n.d.) Masih terkait dengan 2Korintus 9:12 itu. Pelayanan publik yang dilakukan oleh dua jemaat yang disebut dalam teks tersebut didasari oleh pengucapan syukur kepada Allah.

Tetapi, subjek kata leitourgia tidak semata-mata manusia. Bagian lain dalam Perjanjian Baru juga menjelaskan bahwa kata leitourgia dipakai untuk menggambarkan pelayanan Yesus Kristus sebagai pengantara. Kata leitourgia sebagai gambaran pelayanan Yesus dicatat dalam Ibrani 8:6, “Tetapi sekarang Ia telah mendapat suatu pelayanan [leitourgia]yang jauh lebih agung, karena Ia menjadi Pengantara dari perjanjian yang lebih mulia, yang didasarkan atas janji yang lebih tinggi”.

Penjelasan di atas telah menggambarkan empat aspek dalam liturgi: Pertama, pelayanan altar yang merujuk pada penggunaan letiorugia dalam Septuaginta untuk menjelaskan aktivitas imam yang melayani mezbah. Kedua, ibadah yang menggunakan kata leitourgia untuk menjelaskan persekutuan jemaat mula-mula yang beribadah kepada Tuhan. Ketiga, pelayanan publik. 1Korintus 9:12 menggunakan kata leitourgia untuk menjelaskan bantuan jemaat Makedonia dan Yunani terhadap jemaat miskin di Yerusalem. Keempat, karya Allah dalam Yesus Kristus. Ibrani 8:6 menggunakan kata leitourgia untuk menjelaskan karya pelayanan Yesus. Empat aspek itu harus dirumuskan menjadi sebuah Spiritualitas Liturgi. Oleh sebab itu, dibutuhkan logika atau kerangka kerja yang menolong kita memahami Spiritualitas Liturgi itu sendiri.

Saya akan mengawali penjelasan tentang logika atau kerangka kerja liturgi berangkat dari Roma 12:1, “ “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” Frasa “sejati” diterjemahkan dari bahasa Yunani logiken yang berasal dari logikos. Dalam bahasa Yunani, logikos berarti tindakan dengan alasan kuat. Penyematan kata logiken pada kata “ibadah” menurut Roma 12:1 itu menunjukkan bahwa ibadah membutuhkan alasan.

Dalam ilmu liturgi, alasan beribadah ialah relasi antara Allah dengan ciptaan dengan menggunakan peristiwa Salib sebagai rujukan utama. Peristiwa penyaliban Yesus bukan inisiatif manusia, tetapi Allah sendiri. Allah turun dan menyatakan Diri bagi dunia agar kabar keselamatan dapat dialami oleh manusia dan ciptaan-Nya. Inilah asalan beribadah, sekaligus menjadi struktur yang mendasari akitivitas ibadah. Dalam ilmu Liturgi, Allah yang menyatakan diri ini disebut dengan struktur menurun, katabatic.(Adam 1992, 5) Oleh karena itu, ibadah adalah pengakuan pada inisiatif Allah melalui totalitas kehadiran dan penyataan-Nya bagi dunia, melalui Allah yang turun ke dunia melalui inkarnasi dalam Yesus Kristus.(Chan 2006, 56)

Ibadah harus berawal dari pengakuan bahwa Allah yang berinisiatif menyatakan diri-Nya bagi dunia. Karena ibadah diawali oleh pengakuan pada inisiatif Allah, maka umat harus memberi tanggapan dan respons terhadap penyataan Allah tersebut. Dalam Teologi Liturgi, tanggapan manusia terhadap Allah yang menyatakan dan membenarkan itu disebut dengan struktur naik, anabatic.(Adam 1992, 5)

Penjelasan di atas telah menunjukkan struktur dalam ibadah Kristen. Ibadah Kristen menunjukkan relasi struktur turun (katabatic) dan struktur naik (anabatic). Katabatic dan anabatic tidak boleh terpisah. Bahkan, katabatic dilanjutkan pada anabatic, membentuk relasi yang berkesinambungan. Dengan demikian, dalam ibadah melekat dua makna, yaitu pengakuan pada inisiatif Allah yang menyatakan diri pada dunia melalui peristiwa salib, dan saat bersamaan pula, tanggapan, respons, dan partisipasi pada inisiatif penyataan Allah, agar manusia menyatu dalam karya keselamatan itu.(Adam 1992, 5) Saya akan menjelaskannya melalui bagan yang ditampilkan berikut ini:

Skema di atas akan dipakai sebagai logika untuk memahami Liturgi. Awal berangkat berliturgi adalah penyataan Allah melalui inkarnasi Yesus. Puncak inkarnasi-Nya adalah Salib. Dengan demikian, kita beribadah karena Allah telah menyatakan diri melalui inkarnasi-Nya yang membebaskan pada Salib (Katabatic). Penyataan Allah dalam inkarnasi-Nya direspon oleh manusia melalui partisipasi ke dalam karya dan cinta kasih Allah di Salib (Anabatic).

Merujuk pada empat aspek dalam liturgi seperti pembahasan sebelumnya, maka keempat aspek itu dapat dijelaskan menggunakan logika di atas. Tiga aspek yang pertama, mezbah, persekutuan, dan pelayanan kasih, menggambarkan panggilan gereja di dunia ini. Kita mewujudkan panggilan itu didorong oleh Allah yang berinkarnasi. Dia telah menyatakan diri-Nya bagi kita sebagai firman yang hidup (Marturia), bersekutu dalam kematian dan kebangkitan-Nya (Koinonia), dan mewujudkan pelayanan kasih bagi kita melalui penderitaan-Nya di Salib (Diakonia). Inisiatif Allah yang menyatakan diri dalam tiga bentuk di atas (Katabatic) mengundang partisipasi dan respon manusia ke dalam tiga bentuk itu. Respon dan partisipasi manusia ke dalam penyataan Allah itu diwujudkan dalam tiga panggilan, yaitu Marturia, Koinonia, dan Diakonia. Bagan di bawah ini akan menjelaskannya.

Merujuk pada penjelasan dan bagan di atas, maka pertanyaannya adalah, bagaimana kita mewujudkan gerak anabatic itu? Itulah yang akan saya jelaskan berikut ini.

Dua wujud liturgi

Gerak Anabatic seperti bagan di atas dapat diwujudkan dalam dua bentuk liturgi. Saya akan menggunakan 2Korintus 9:15 sebagai pintu untuk menjelaskan dua wujud liturgi. Khotbah John Chrysostomus –sebagaimana dikutip oleh Joas Adiprasetya –tentang 2Koritnus 9:15 akan saya gunakan untuk menjelaskan dua wujud liturgi tersebut.

Mezbah ini boleh kamu lihat di mana-mana, baik di jalan kecil maupun di pasar, dan boleh mempersembahkan korban di atasnya setiap jam; untuk ini juga pengorbanan dilakukan. Dan ketika imam berdiri memohon Roh, demikian juga Anda memanggil Roh, bukan dengan ucapan, tetapi dengan perbuatan … Ketika kemudian anda melihat seorang yang miskin, pikirkan bahwa anda sedang melihat sebuah altar: ketika anda melihat seorang pengemis, jangan menghinanya, tetapi hormatilah dia, dan jika anda melihat orang lain menghinanya, cegah, tolaklah.(Adiprasetya 2019, 86)

Merujuk pada pada 2Korintus 9:15, maka ada dua wujud liturgi yang dapat dipraktikkan, yaitu liturgi altar, ibadah yang secara formal kita laksanakan, dan liturgi kehidupan, gerak hidup kita yang didasari oleh kedalaman penghayatan terhadap karya penyataan Allah. Gerak anabatic dapat dilakukan dalam dua wujud tersebut. Melalui liturgi altar, kita menerima janji keselamatan melalui karya pelayanan Yesus Kristus, yang kemudian dilanjutkan melalui kehidupan, yaitu perawatan persekutuan dan perwujudan pelayanan kasih.

Menjelaskan relasi Katabatic dan Anabatic, kita bisa menggunakan perspektif Dewan Gereja Dunia, yaitu Liturgy after Liturgy. Liturgy after Liturgy adalah sumbangan gereja Orthodoks bagi gereja-gereja di seluruh dunia (termasuk yang beraliran Lutheran). Liturgi altar adalah pengalaman spiritual yang bermetabolisme ke dalam tubuh, jiwa, dan roh kita, dan kemudian dipraktikkan dalam pekerjaan misi dan panggilan di dunia ini yang menjadi liturgi kehidupan bagi kita (Sonea 2020, 460). Kemudian, liturgi kehidupan itu akan didialogkan dengan liturgi altar untuk mengoreksi apakah kehidupan kita sudah utuh di hadapan Allah. Bagan berikut ini akan menjelaskan Liturgy after Liturgy.

Spiritualitas Liturgi dalam Bergereja

 Dalam Rencana Strategis GKPI 2015-2030 disebutkan panca pelayanan GKPI. Tiga di antaranya adalah panggilan gereja seperti telah dijelaskan di atas. Saya mengutip satunya lagi yaitu leitourgia. Ketika GKPI telah memasukkan leitorugia satu di antara panca pelayanan, maka saya menilai bahwa GKPI hendak menegaskan identitasnya sebagai persekutuan liturgis. Apabila GKPI menegaskan dirinya sebagai persekutuan liturgis, maka spiritualitas bergereja berakar pada teologi liturginya.

Saya telah menjelaskan pada bagian Pendahuluan, jika dilihat dari praksis formalnya, GKPI adalah gereja liturgis. Oleh karena itu, GKPI harus melihat kehidupan pelayanan dan organisasinya sebagai liturgi. GKPI tidak hanya menyibukkan diri pada Liturgi Altar masing-masing jemaat yang berjalan setiap minggu. Sudah tiba saatnya bagi GKPI untuk melihat tata kelola program dan keuangan, mulai dari tingkat jemaat hingga sinode sebagai kehidupan liturgisnya. Konsekuensinya, GKPI harus menjadikan pengelolaan bergereja sebagai gerak Anabatic untuk menyatu dan berpartisipasi ke dalam karya penyataan Allah. Jika cara ini ditempuh, maka pengelolaan di GKPI akan berjalan secara terbuka, jujur, dan transparan.

Penutup

Saya telah menjelaskan perspektif Spiritualitas Liturgi. Saya mau tegaskan bahwa nilai-nilai bergereja bersumber pada spiritualitas liturgi. Sudah saatnya ada komitmen semua pihak di GKPI, dari tingkat jemaat hingga sinode, tidak ada satupun ruang gerak di GKPI yang luput dari kehidupan liturgis. GKPI telah melaksanakan Liturgi Altar, maka di saat yang sama pula, GKPI menjadikan organisasinya sebagai kehidupan liturgis. Inilah formasi spiritualitas liturgis yang perlu dikembangkan ke depan.

Daftar Bacaan:

Adam, Adolf. 1992. Foundations of Liturgy: An Introduction to Its History and Practice. Collegeville, Minn: Liturgical Press.

Adiprasetya, Joas. 2019. “The Liturgy of the In-Between.” Scottish Journal of Theology 72 (1): 82–97. https://doi.org/10.1017/S0036930618000704.

Chan, Simon. 2006. Liturgical Theology: The Church as Worshiping Community. Downers Grove, Ill: IVP Academic.

Delgado, Cheryl. 2005. “A Discussion of the Concept of Spirituality.” Nursing Science Quarterly 18 (2): 157–62. https://doi.org/10.1177/0894318405274828.

Dyson, Jane, Mark Cobb, and Dawn Forman. 1997. “The Meaning of Spirituality: A Literature Review.” Journal of Advanced Nursing 26 (6): 1183–88. https://doi.org/10.1111/j.1365-2648.1997.tb00811.x.

Jastrzębski, Andrzej K. 2022. “The Challenging Task of Defining Spirituality.” Journal of Spirituality in Mental Health 24 (2): 113–31. https://doi.org/10.1080/19349637.2020.1858734.

Senn, Frank C. 2012. Introduction to Christian Liturgy. Minneapolis: Fortress Press.

Sonea, Cristian. 2020. “The ‘Liturgy after the Liturgy’ and Deep Solidarity. The Orthodox Understanding of Christian Witness and Its Implications for Human Society.” Mission Studies 37 (3): 452–77. https://doi.org/10.1163/15733831-12341741.

“Strong’s Exhaustive Concordance: Greek 3009. Λειτουργία (Leitourgia).” n.d. Accessed May 13, 2022. https://biblehub.com/strongs/greek/3009.htm.

Venkataraman, Prabhu, and Bharat Konwar. 2019. “Some Issues in Understanding Spirituality as Relational.” Journal for the Study of Spirituality 9 (1): 20–31. https://doi.org/10.1080/20440243.2019.1581324.

White, James F. 2009. Pengantar Ibadah Kristen. Translated by Liem Sien Kie. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Categories: Artiel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *