Tinjauan Etika Kristen Tentang Pelestarian Lingkungan Hidup Diperhadapkan dengan Manusia Sebagai Imago Dei Allah Serta Tindakan Eksploitasi

Oleh: Vikar. Miduk P. Simanjuntak, S. Th

  • Pendahuluan

Alam menjadi sebuah realitas hidup yang di dalamnya terdapat mahluk hidup diantaranya adalah manusia. Manusia digambarkan memiliki pola hidup yang saling bergantung dengan ciptaan lainnya sehingga pencapaian hubungan yang baik dengan lingkungannya merupakan suatu tujuan yang diperlukan untu mendapatkan keberlangsungan hidup yang baik antara sesama mahluk hidup di dalam sebuah komunitas alam.

Manusia hadir sebagai mahluk ciptaan yang dikhusus kan oleh Allah. Ditempatkan pada sebuah situasi yang telah disediakan sebelumnya. Manusia diberikan tangung jawab untuk memelihara ciptaan lainnya sebagai Imago Dei Allah. Tetapi dilain sisi pemahaman ini telah berubah dengan mengambil makna lain dengan menerjemahkan menguasai dan memelihara dengan sebuah tindakan yang berlebihan terhadap alam. Dewasa ini manusia banyak diperhadapakan terhadap suatu situasi alam yang berdampak pada kerugian manusia itu sendiri. Seperti bencana alam yang marak terjadi baik itu longsor, banjir, kebakaran hutan dan lain sebagainya. Semuanya itu bukan lah suatu hal yang terjadi dengan sendirinya tanpa sebab. Tetapi ada sebab yang menimbulkan beberapa bencana alam tersebut seperti penebangan hutan ilegal, pembakaran hutan untuk perluasan lahan, dan masih banyak lagi tindakan-tindakan manusia yang merusak alam.

Pemahaman tentang manusia sebagai Imago Dei terkadang disalah artikan. Imago Dei dipahami sebagai sebuah mandat yang berisikan tentang tugas utuk menguasai atau berkuasa atas ciptaan lainnya, sebab manusia di spesialkan. Berkuasa yang dimaksud terkadang menjadi sebuah jalan untuk melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan dan semaunya terhadap alam, yang tidak jarang menimbulkan bencana-bencana alam. Berkuasa merupakan kata yang dipegang oleh manusia dan dalam realitanya dilakukan untuk mendapatkan keuntungan demi keberlangsungan hidupnya (Barth, 1988).

  • Kajian Teoritis
    • Siapakah Manusia itu?
  • Manusia Sebagai Imago Dei Allah

Dalam Kejadian 1:26-28, Allah menciptakan Manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan menurut Gambar dan Rupa Allah untuk memenuhi, berkuasa atas bumi. Hal ini berarti bahwa citra Allah melekat pada mereka (Damanik, 2002). Memenuhi dan berkuas atas bumi merupakan salah satu bentuk dari Imago Dei itu. Manusia menjadi Imago Dei atau gambar Allah, yang menjadikannya berkuasa atas ciptaan lainnya. berkuasa yang dimaksud adalah pemeliharaan bukan penguasaan secara berlebihan dengan pemberlakuan yang tidak baik terhadap ciptaan lainnya. dikarenakan semua ciptaan adalah sama dan memiliki kedudukannya masing-masing. Manusia sebagai Imago Dei dilihat sebagai sebuah relasi antara manusia dengan Allah, sesama manusia, dan juga pada alam (Boerseman, 2014).

  • Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia

Dalam hidup setiap orang kebebasan adalah suatu unsur hakiki. Manusia mengalami kebebasan itu dikarenakan dia manusia itu sendiri. Tetapi kebebasan disalah artikan dalam penggunaannya termasuk dalam hubungan manusia dengan Alam. Sehingga kekebasan itu diartikan sebagai kesewenang-wenangan, yaitu berbuat sesuka hati walau tidak mengikuti norma-norma tertentu, tanpa memepertimbangkan kegunaannya secara komulatif (Bertens, 2011).

Kebebasan tidak terlepas dari tanggung jawab, kekebabasan adalah syarat mutlak untuk tanggung jawab. Melihat hal ini maka penting sebuah prinsip tanggung jawab (moral responsibility for nature). Tanggung jawab manusia terhadap alam haruslah nyata, sebab manusia adalah bagian integral dari alam ini. Sehingga melahirkan prinsip moral bahwa manusia mempunyai tanggung jawab  baik terhadap alam semesta seluruhnya dan integritasnya, maupun terhadap keberadaan dan kelestarian setiap bagian dan benda di alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan dengan tujuannya masing-masing. Terlepas dari apakah tujuan itu untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh karena itu manusia sebagai bagian dari alam semesta, bertanggung jawab pula untuk menjaganya. Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat individual tetapi juga menjadi tanggung jawab yang bersifat kolektif (Keraf, 2014).

  • Kesatuan Manusia dengan Alam dalam Alkitab

Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia; “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7), seperti Ia juga membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara (Kej. 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut “adam”. Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah “adamah”, yang berarti warnah merah kecoklatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warnah tanah. Dalam bahasa Latim, manusia disebut “hom”, yang juga mempunyai makna yang berkaitan dengan “humus”, yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasanya diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait-mengait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) saling bergantung sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak disinya sendiri (Borrong, 1998).

  • Teori Etika Lingkungan Hidup
  • Antroposentrisme

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya.

  • Biosentrisme

Biosentrisme ini adalah kebalikan dan menolak argument dari antroposentrisme. Bagi biosentrisme, tidak benar bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai, alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri selepas dari kepentingan manusia. Ciri utama dari etika ini adalah biocentric, karena teori ini menganggap setiap kehidupan dan mahluk hidup mempunyai nilai-nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral (Keraf, 2014).

  • Ekosentrisme

Ekosentrisme adalah kelanjutan dari teori biosentrisme yang mencakup seluruh ekologis seutuhnya baik hidup maupun tidak hidup. Pandangan ini memahami bahwa secara ekologis makhluk hidup dan lingkungan abiotiknya saling terkait, tidak terpisah, sehingga kewajiban dan tanggung jawab moral manusia tidak hanya dibatasi pada mahlik hidup, melainkan juga berlaku kepada semua anggota realita ekologi (Winarto, 2010).

  • Etika Kristen  dan Pelestarian Lingkungan Hidup

Gagasan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah menempatkan manusia itu dalam suatu hubungan yang unik dengan Allah dibandingkan dengan ciptaan lainnya. hubungan yang unik itu memberikan tanggung jawab khusus untuk bertindak selaku penatalayan dan pelaksana harian pemeliharaan ciptaan. Peran sebagai pelaksana harian ini jelas dari pasal-pasal kitab Kejadian dimana Allah memerintahkan manusia menguasai ciptaan dan mengelola bumi. Tugas ini berisi mandat pemeliharaan bumi, bukan mandat mengeksploitasi. Sehingga jika manusia gagal memelihara bumi maka manusia itu juga gagal dalam tanggung jawabnya sebagai penatalayan ciptaan. Dalam Matius 6:19-34, Yesus degan sangat jelas menyatakan bahwa Allah memelihar burung-burung di udara dan bunga bakung di ladang, dan bahwa kita ditempatkan di tengah-tengah komunitas yang dipeliha Allah (Deane, Drummond, 2001).

  • Gereja dan Pelestarian Lingkungan Hidup

Alam semesta, langit dan bumi serta segenap isinya, baik yang kelihatan, maupun yang tidak kelihatan, termasuk manusia dan malaikat, adalah ciptaan dan milik Allah (Kej 1-2; Mzm 24:1-2; 89:12; Yes 44:24; Yer 27:5; Kol 1:16) Seluruh ciptaan itu sungguh amat baik (Kej 1:31), namun semua yang telah diciptakan Allah itu tidak boleh diper-ilah dan disembah (Kel 20:3-5; Rm 1:18-25; Why 22:8-9).

Seluruh ciptaan itu ditempatkan Allah dalam keselarasan yang saling menopang dan menghidupkan, sejalan dengan kasih karunia pemeliharaanNya atas ciptaan Nya (Kej 1:29-30; 2:15,19; Mzm 104:10-18; Yes 45:7-8). Allah tidak mengingingkan ciptaanNya kacau dan saling menghancurkan (Kej 8:21-22; 9:8-17), kendati iblis dan dosa telah membawa segenap makhluk kepada kesia-siaan dan membuatnya turut mengerang dan mengeluh menantikan saat penyelamatan (Rm 8:20-22). Allah telah memberi mandat khusus kepada manusia untuk turut dalam pemeliharaan dan penguasaan seluruh ciptaanNya (Kej 1:26-28; 2:15).

Manusia harus bertanggungjawab dalam memelihara dan mengusahakan kelestarian alam ciptaan Allah. Pengerusakan terhadap ciptaan Allah, terhadap alam dan lingkungan sekitar, pada dasarnya adalah perlawanan terhadap alam dan lingkungan sekitar, pada dasarnya adalah perlawanan terhadap Allah yang telah menjadikan segala sesuatu dan yang senantias memelihara dalam kasih dan kesetiaan (GKPI, dalam http://www.gkpi.or.id/page/58/penciptaan_dan_pemeliharaan, 2022)

  • Kesimpulan

Manusia tidak diciptakan Allah untuk bertindak sewenang-wenang terhadap alam. Manusia memang penguasa alam tetapi harus berperilaku sebagai penguasa yang sesuai dengan kehendak Allah yang menunjuk manusia itu sebagai mitra-Nya. Hal inilah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain yang diciptakan Tuhan. Manusia dapat melihat dan mengakui keberadaan Allah dengan melihat keadaan alam sekitarnya. Sehingga ketika manusia merusak alam lingkungan sekitarnya maka sama saja dengan manusia merusak apa yang sedang Allah lakukan atau kerjakan dengan alam ini.

Kata mengelola dalam Kejadian 2:15, menggunakan istilah Ibrani “abudah” yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka manusia sebagai citra Allah seharusnya memamfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab; memamfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola dan memelihara lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia. Kepercayaan itu harus dipertanggung jawabkan sebagai salah satu mandat Allah kepada manusia.

  • Daftar Pustaka

P3I GKPI. (n.d.). Diakses pada Selasa, 06 September 2022. di akses dari website: http://www.gkpi.or.id/page/58/penciptaan_dan_pemeliharaan.

Harahap, Basyral H., & Hotman M. S. (2020). Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar.

Barth, Christoph. (1988). Thelogia Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK-Gunung Mulia.

Damanik, Mika. (2002), Iman dan Paradoks. Jakarta: CV. Mulya Sari.

Boerseman, Jan A. (2014). Etika Kristen Sebuah Pengantar. Jakarta: DELIMA.

Bertens, K. (2011). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Keraf, A. Sonny. (2014). Filsafat Lingkungan Hidup Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius.

Borrong, Robert P. (1998). Ekologi dan Iman Kristen. Bandung: Jurnal Pelita Zaman Vol. 13 No. 1.

Keraf, A. Sony (2002). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Herimanto. Wiranto. (2010). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Deane, Celia & Drummond. (2001). Teologi dan Ekologi. Jakarta: BPK-Gunung Mulia.

Categories: Artiel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *