Refleksi HUT ke-59 GKPI dan Tahap II Tahun III Renstra 2023:
Memelihara Dan Mempedulikan Jemaat-Jemaat
Pdt. (em.) Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D.
Pengantar
- Ketika sebuah gereja (termasuk jemaat) berulangtahun, apa hal hakiki dan mendasar yang perlu – bahkan harus – dilakukannya? Jawaban standar tentu adalah: bersyukur atas pemeliharaan Tuhan dan atas kemajuan/perkembangan yang dialami dan dicapainya selama masa hidupnya. Tetapi apakah ada hal lain yang tak kalah penting untuk kita lakukan?
- Tahun ini GKPI berusia 59 tahun (terbentuk 30 Agustus 1964). Mengacu pada cara hitung usia manusia Indonesia, gereja kita ini sudah mendekati lanjut usia (lansia). Tetapi berbeda dari manusia yang ketika memasuki usia lansia kondisi dan kualitas kehidupannya semakin merosot, lembaga/organisasi dan persekutuan (apalagi yang bernama gereja), ketika usianya bertambah maka diharapkan kondisi dan kualitasnya justru kian meningkat. Karena itu, dalam suasana peringatan dan syukuran HUT ke-59 ini, kita perlu menjawab pertanyaan di atas, termasuk melalui evaluasi dan refleksi atas perjalanan kita sebagai gereja.
- Peringatan/perayaan HUT ke-59 GKPI dikaitkan dengan ‘road map’ GKPI, sebagai bagian II/tahun ke-3 dari Renstra GKPI 2015-2030 dan tema tahun 2023 ini, yaitu: Memelihara dan Mempedulikan Jemaat-jemaat. Kita tidak perlu lagi membahas dan mempersoalkan apa arti Jemaat[2], bahkan kita juga tidak perlu lagi membahas apa itu gereja, walaupun sebenarnya ada banyak studi dan literatur baru di bidang eklesiologi[3] yang mengkaji [kembali] apa dan bagaimana gereja, bergereja, dan menggereja.[4] Yang lebih penting untuk kita perhhatikan adalah: apa arti ‘memelihara’ dan ‘mempedulikan’, dan apa/siapa saja yang tercakup dalam ‘Jemaat’? Sebelum sampai ke situ, dan berkait dengan itu, perlu kita melihat sejenak perjalanan GKPI selama 59 tahun ini.
Tinjauan Singkat Perjalanan GKPI selama 59 Tahun[5]
Terbentuknya dan hadirnya GKPI sejak hampir 59 tahun y.l. tidak lepas dari serangkaian pergolakan yang terjadi di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sejak 1959.[6] Intinya, sejumlah warga dan pelayan HKBP resah karena berbagai penyimpangan dan penyelewengan di HKBP dari hakikat gereja dan bergereja. Mereka melakukan berbagai upaya – termasuk membentuk dan menjalankan sejumlah gerakan – untuk mengembalikan HKBP ke hakikat dan citra yang semestinya. Tetapi upaya itu kurang ditanggapi dan dihargai, malah mereka yang menjalankan gerakan dan mencanangkan pembaruan itu dituduh melakukan hal-hal yang tidak benar, dan sebagian diberhentikan dari tugas dan jabatannya di lingkungan HKBP.
Para pencetus serta pengikut gerakan pembenahan dan pembaruan itu tidak melihat jalan lain kecuali mendirikan lembaga gereja yang baru, di mana mereka berharap dapat memuaskan dahaga dan kerinduan mereka akan kehidupan rohani dan bergereja yang lebih sesuai dengan firman dan tuntunan Tuhan. Disepakati bahwa nama gereja yang baru itu adalah Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI). Gerakan-gerakan yang bermuara pada pembentukan GKPI, maupun GKPI itu sendiri setelah terbentuk, menghadapi banyak rintangan dan tantangan. Namun gerakan-gerakan dan gereja baru itu dengan cepat menyebar-luas ke berbagai penjuru Indonesia, tidak hanya di Sumatra, melainkan juga ke berbagai penjuru pulau Jawa (belakangan juga beberapa tempat di Kalimantan).
Salah satu ungkapan yang sering diucapkan pada tahun-tahun pertama GKPI adalah “sabas[7] na mar-GKPI”. Istilah ini memang sangat populer dan menggambarkan perasaan banyak warga dan pelayan GKPI, terutama pada awal berdirinya, bahkan mendorong mereka untuk lebih giat lagi mengembangkan gereja muda ini. Ungkapan ini juga masih sering didengung-dengungkan hingga kini. Namun demikian patut juga dicatat: pada tahun-tahun pertama berdirinya GKPI, bahkan sejak masih berupa gerakan, para tokoh dan aktivis gerakan dan gereja ini sering berkumpul di sebuah lapo tuak bernama “Sabas” di Jl. Sisingamangaraja, di depan stasiun bus dan stadion sepakbola Teladan, Medan.
Perasaan “sabas” memang sangat menggugah dan disukai banyak orang (terutama orang Batak), termasuk sesudah markombur dan marlissoi (menikmati tuak dan tambulnya). Tetapi kita perlu berefleksi: apakah rasa sabas seperti itu yang kita kejar dan inginkan ketika kita ikut mendirikan dan selanjutnya bergiat di GKPI? Apakah itu tujuan bergereja? Apakah kepuasan manusia yang paling kita kejar dan utamakan, bukan perwujudan kehendak Tuhan?
Dalam perkembangan selanjutnya, sembari membentuk dan menambah jumlah jemaat, resort, dan wilayah, GKPI menata dirinya menyangkut berbagai hal, a.l. menyusun Tata Gereja (TG) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT), menyusun dan membenahi organisasi dan jabatan/ pejabat gereja (termasuk pendeta perempuan) berpedoman pada Alkitab, TG, dan PRT, menyelenggarakan sejumlah lembaga pendidikam umum (SD, SMP, SMA, SMEA, STM)[8] dan pendidikan khusus: Sekolah Pemimpin/Guru Jemaat[9] dan Pendidikan Tunanetra.[10]
Dengan kesadaran bahwa pekabaran Injil (p.I.) adalah utang dan tanggung jawab gereja, sejak akhir 1960-an GKPI sudah melakukan kegiatan p.I. kepada masyarakat yang belum menerima Injil (terutama yang beragama non-Kristen, termasuk agama suku). Di sejumlah lokasi dibuka Pos P.I. dan ditempatkan sejumlah evangelis (baik yang sebelumnya sudah mendapat pendidikan di bidang itu, maupun yang dididik melalui kursus oleh GKPI sendiri). Pos-pos P.I. itu a.l. ada di Sumatra Utara/Timur, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Barat, dan Yogyakarta. Kegiatan ini juga didukung oleh sejumlah mitra GKPI di dalam dan luar negeri.[11]
Seiring dengan berbagai kegiatan di atas, GKPI juga memberi perhatian pada bidang Diakonia. Dua yang menonjol dan berkesinambungan di bidang ini adalah penyelenggaraan Panti Asuhan “Mamre” di Pematangsiantar dan Yayasan Dana Agape (YDA) yang terutama menyantuni anak-anak warga GKPI yang membutuhkan dukungan dana pendidikan (uang sekolah, pakaian seragam, perlengkapan belajar, dsb.).[12] Diakonia yang bersifat insidental-karitatif (akibat bencana alam, dsb.) juga digalakkan di jemaat-jemaat.[13]
Untuk mendukung pembangunan dan pengembangan masyarakat luas, seiring dengan rencana dan program pembangunan yang diadakan pemerintah RI ([Re]Pelita, dsb.), GKPI juga membentuk Badan Pengembangan Masyarakat (Pengmas GKPI) yang – bekerjasama dengan berbagai pihak – melakukan berbagai program pembangunan fisik/sarana-prasarana (infrastruktur), a.l. pembangunan jalan, pertanian (termasuk irigasi, perikanan. dan perkebunan). Bersama gereja-gereja anggota DGI/PGI lainnya, dan sesuai dengan yang diamanatkan pada Tata Gerejanya (Pasal III & IV.(3)), GKPI juga menerima Pancasila sebagai asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membekali warganya untuk menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab, dan memelihara kerukunan.
Selain membenahi penyusunan program pengembangannya, sejak 1993 GKPI juga berhasil menyusun Garis Kebijaksanaan Umum (GKU) yang dibarui sekali 5 tahun. GKPI juga mengupayakan perumusan ajaran dan pemahaman iman lewat penyusunan Pokok-pokok Pemahaman Iman (P3I) GKPI. Buku kecil (semacam ‘dogmatika kecil) ini sekaligus dipakai sebagai bahan Katekisasi dan Pembinaan Calon Penatua.[14] Sejak 2013 GKU diganti dengan Rencana Strategis (Renstra) GKPI yang disusun sekali 15 tahun.Renstra pertama berlaku untuk periode 2015-2030; kita sekarang sedang berada di tengah-tengahnya.
Di tengah berbagai perkembangan dan kemajuan di atas, terjadi juga berbagai konflik dan ‘prahara’. Benih-benih dan riak-riaknya sebenarnya sudah terlihat sejak 1970-an, tetapi kian nyata sejak 1980-an dan memuncak pada paruh kedua 1990-an. Konflik ini semula lebih banyak di aras Pusat (sejak 2013 disebut Sinode), tetapi kemudian meluas juga ke jemaat-jemaat. Pada puncaknya GKPI sempat terbelah dua di aras Pusat pada tahun 1996-1999. Syukurlah, pada tahun 2000 – melalui upaya dan sidang Sinode Am Rekonsiliasi tahun 2000 – GKPI kembali utuh, walaupun ekor-ekornya masih terasa selama beberapa tahun.
Sejak Sinode Am Rekonsiliasi itu GKPI berupaya membenahi diri mulai dari aras jemaat/ resort, wilayah, hingga Pusat/Sinode. Walaupun di sana-sini masih terjadi berbagai gejolak dan konflik, namun secara garis besar GKPI cukup stabil, bahkan ada sejumlah peningkatan, walaupun tidak terlihat kemajuan yang spektakuler, baik kuantitas maupun kualitasnya.[15]
Memelihara dan Mempedulikan
Membaca judul road map GKPI Tahap II Tahun III Renstra 2023: “Memelihara dan Mempedulikan Jemaat-jemaat”, segera timbul pertanyaan: Siapa yang memelihara/mempedulikan, dan siapa pula yang dipelihara/dipedulikan? Berhubungan dan berkesinambungan dengan road map GKPI 2022 (Pelayanan Pastoral), yang pertama-tama memelihara/mempedulikan adalah Tuhan sendiri, Sang Raja, Kepala, dan Pemilik Gereja serta Sang Gembala yang Baik[16]. Tetapi tugas memelihara/mempedulikan dan menggembalakan itu Tuhan embankan dan percayakan juga kepada gereja-Nya (termasuk GKPI), terutama para pelayannya, pada aras Jemaat hingga Sinode. Berdasarkan pemahaman dan kesadaran itulah GKPI juga menyusun Tata Penggembalaan; bahkan ada juga secara khusus [Tata] Penggembalaan Pranikah.[17] Tentu banyak jemaat GKPI yang sudah mengenal dan memakai kedua dokumen/buku kecil itu, bersama sejumlah dokumen/buku yang mendahuluinya (P3I GKPI, Bahan Pembinaan Calon Penatua, Buku Tata Ibadah GKPI, dsb.). Dengan demikian Tuhan Allah Tritunggal telah memelihara/mempedulikan dan menggembalakan GKPI melalui para pelayan-Nya juga.
Sesuai dengan semboyan dan prinsip “Imamat am orang percaya” (berakar pada 1Ptr. 2:9) yang juga sudah dicanangkan GKPI sejak awal berdirinya, pelaksana tugas/pelayanan memelihara/mempedulikan dan menggembalakan itu bukan hanya para pelayan tahbisan (pendeta, evangelis, penatua, dsb.) melainkan juga seluruh warga jemaat dewasa (sidi) di lingkungan masing-masing (a.l. keluarga, tempat belajar dan bekerja, dan tempat tinggal). Yang perlu digembalakan bukan hanya warga jemaat, melainkan juga para pelayan Gereja, termasuk para pelayan tahbisan tersebut di atas (bdk. Tata Penggembalaan, Bab V ayat 1, 2 dan 3). Untuk menggembalakan para pendeta, misalnya, di GKPI dibentuk Tim Pastor Pastorum (Pendeta yang menggembalakan sesamanya pendeta). Berbeda dari HSG, yang digembalakan bukan hanya warga atau pelayan yang melakukan kesalahan (untuk mereka dijalankan Penggembalaan Khusus), melainkan juga seluruh warga atau pelayan gereja/jemaat yang secara umum membutuhkan pendampingan, penguatan, penghiburan, dan kepedulian.
Bagaimana memperlihatkan kepedulian dan melaksanakan pemeliharaan dan penggem-balaan, dan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan? Pada zaman zending dulu (abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20), sebelum gereja-gereja di Indonesia mandiri, istilah yang lazim digunakan untuk tugas ini adalah seelsorge (pemeliharaan jiwa). Istilah ‘jiwa’ pada masa itu kurang-lebih identik dengan ‘rohani’. Ini sejalan dengan pemahaman bahwa yang diurus dan dipedulikan gereja hanyalah aspek kerohanian manusia. Aspek-aspek lain (kesehatan fisik, pendidikan, mata pencaharian) merupakan tugas pihak lain (pemerintah dsb.).
Tetapi berangsur-angsur tumbuh kesadaran dan pemahaman bahwa manusia itu (termasuk warga gereja) adalah makhluk Tuhan yang holistik (tubuh, jiwa, dan roh merupakan suatu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, walaupun dapat dibedakan). Karena itu, dalam rangka memelihara/mempedulikan dan menggembalakan warga dan pelayan gereja, perlu memahami mereka satu per satu, keluarga demi keluarga, secara holistik. Itulah sebabnya, walaupun terbatas, gereja dan umat Kristen, termasuk di negeri kita ini, mengurusi banyak hal di luar yang berbau kerohanian (ibadah, katekisasi, latihan koor, PA, dsb.). Kian banyak gereja yang peduli dan bergiat di bidang pendidikan umum, kesehatan, pertanian/ perkebunan, koperasi simpan-pinjam/Credit Union/BPR), hukum (advokasi), pengembangan masyarakat (pengmas), berbagai pelatihan, dsb. GKPI sejak awal juga memperhatikan hal-hal ini berdasarkan pemahaman atas manusia (individu maupun komunal) secara holistik, walau masih sangat terbatas, dan bahkan di berbagai bidang mengalami kemunduran.[18]
Untuk dapat memperlihatkan kepedulian serta menjalankan pemeliharaan dan penggembalaan secara holistik, maka [mestinya] setiap jemaat GKPI memiliki data dan statistik yang holistik juga. Tidak cukup memiliki Buku Induk yang berisi data dasar: nomor anggota, nama kepala keluarga, anggota keluarga, alamat, tanggal lahir, baptis dan sidi masing-masing, dan tanggal perkawinan kepala keluarga. Mestinya terdapat juga database yang lebih rinci: menjadi anggota jemaat sejak kapan, tingkat/jenjang pendidikan, pekerjaan/profesi, bakat/ talenta, kondisi kesehatan (fisik maupun mental dan spiritual, bagi warga dan pelayan yang punya kondisi khusus), jabatan di jemaat (jabatan tahbisan maupun kelembagaan, pada masa lalu maupun masa kini), foto keluarga dan diri masing-masing. Data ini perlu diupdate (dimutakhirkan) secara berkala, dan pada era digital ini tidak sulit menyusun dan memutakhirkannya, termasuk mendokumentasikan dan menyimpannya secara digital. Tentu data ini tidak semua bersifat publik (terbuka untuk diakses siapa saja). Database ini bersifat semi-konfidensial, hanya terbuka bagi para pelayan tahbisan dan anggota majelis jemaat, serta dibuka dan dipakai untuk penggembalaan (termasuk konseling bagi warga jemaat yang menghadapi masalah) maupun untuk pengembangan jemaat.
Dari database ini kita bisa mendapat informasi dan gambaran tentang situasi dan kondisi real jemaat kita.[19] Kita dapat melihat potensi yang terdapat di dalam jemaat, yang penting untuk dipupuk dan dikembangkan, maupun juga masalah-masalah yang membutuhkan penanganan lebih lanjut (misalnya: berapa warga jemaat yang sakit secara kronis/ berkepanjangan, berapa anak-anak yang putus sekolah atau tidak dapat melanjut karena kekurangan dana ataupun karena kondisi fisik dan mental yang kurang menunjang, dsb.).
Dari database itu kita juga bisa melihat berapa banyak warga jemaat yang aktif (bahkan mengemban tugas dan jabatan) dalam waktu panjang, tidak kunjung diganti, dan berapa pula yang hanya pasif. Menyangkut warga jemaat yang aktif berkepanjangan, perlu diupayakan regenerasi dan kaderisasi, sedangkan mereka yang pasif perlu dikunjungi, diajak bicara, dan didorong untuk lebih giat berpartisipasi.
Mengenai kedua hal ini, baik kita perhatikan, di banyak jemaat ada saja warga (dan pelayan)nya yang mendominasi kegiatan gereja hingga mereka lansia, sementara warga jemaat yang muda kurang mendapat kesempatan. Kita bisa memeriksa, misalnya, berapa jumlah atau persentase penatua dan pengurus berbagai seksi yang berusia di atas 40 tahun dan berapa yang berusia di bawah mereka. Melalui pengamatan sepintas (perlu diteliti lebih mendalam) gereja-gereja yang memberi banyak peran dan tanggung jawab kepada warga muda, jauh lebih hidup dan berkembang dibanding dengan gereja-gereja yang didominasi kaum tua.
Sejalan dengan itu, kita perlu memeriksa, berapa persen pengunjung kebaktian dewasa yang usianya di bawah 30 tahun. Di banyak jemaat GKPI, terutama di kota besar, jumlah pengunjung kebaktian dan aktivis jemaat dari kalangan muda kian menurun, sementara yang lansia meningkat. Tidak banyak dari kalangan muda itu yang tidak bergereja atau pindah ke agama lain. Yang paling banyak adalah beralih (entah secara insidental ataupun permanen) ke gereja lain.
Berdasarkan data yang kita miliki, pada gilirannya kita dapat menyusun program dan kegiatan yang lebih menyentuh dan menjawab kebutuhan seluruh warga jemaat, terutama kaum muda. Yang dibutuhkan kaum muda, termasuk kaum muda gereja, bukan hanya hal-hal yang bersifat ‘rohani’, melainkan juga yang holistik, yang menjawab kebutuhan manusia modern dan seutuhnya. Tentu gereja tidak mampu mengerjakan semua itu. Karena itulah kita perlu berkolaborasi dengan gereja-gereja lain maupun dengan berbagai komunitas dan lembaga, yang bukan Kristen sekalipun. Misalnya pelatihan menggunakan komputer dengan berbagai program dan aplikasinya yang membangun kehidupan. Dengan membangun jarringan dan kolaborasi yang luas, kita sekaligus peduli pada masyarakat di lingkungan gereja/ jemaat kita, serta membagikan berkat dan sukacita kepada mereka.
Penutup: Bersama Mencintai Tuhan dan Mencintai GKPI
Tulisan ini berjudul “Bersama mencintai Tuhan, bersama mencintai GKPI”. Kita tentu tahu dan sadar, Tuhan lebih dulu mencintai (mengasihi) umat manusia dan seluruh ciptaan-Nya (bdk. Yoh. 3:16; 1Yoh, 47-12). Setelah menerima cinta-kasih Tuhan itu, kita juga terpanggil dan didorong untuk mengasihi Tuhan dan sesama manusia (Ul. 6:5, Mat. 22: 37-40, dll.) bahkan mengasihi seluruh alam semesta ciptaan Tuhan dengan memelihara dan mengusahakannya dengan penuh tanggung jawab (Kej. 2:15; Mrk. 16:15). Ada berbagai cara kita mencintai Tuhan: mendengar dan menaati firman-Nya, rajin beribadah (di mana kita memuji dan menyembah Dia, termasuk memberi persembahan), tetapi juga peduli kepada sesama manusia, terutama orang-orang [ter]kecil atau paling hina. Semua itu bisa kita lakukan secara pribadi dan keluarga, tetapi juga secara komunal (melalui gereja dan komunitas lain). Pada waktunya Tuhan akan menghadapkan kita pada peradilan-Nya untuk memeriksa dan memastikan bahwa semua itu sudah kita lakukan (Mat. 25:31-46).
Cinta-kasih Tuhan juga dinyatakan melalui gereja/jemaat-Nya. Gereja (termasuk GKPI) dengan seluruh warga dan pelayannya adalah saksi dan saluran berkat Tuhan. Cinta-kasih Tuhan kepada seluruh ciptaan-Nya diperlihatkan-Nya melalui pemeliharaan, kepedulian, dan penggembalaan-Nya, dan Ia juga mempercayakan kepada gereja-Nya (termasuk GKPI) tugas mulia ini. Pada gilirannya, kita sebagai warga dan pelayan gereja menyambut dan merespons cinta-kasih Tuhan itu dengan mencintai gereja-Nya. Perwujudan dan penampakan nyata cinta-kasih kita kepada Tuhan melalui gereja-Nya dapat kita lakukan dengan beraneka cara, tidak hanya memberi persembahan atau dukungan dana dan menjalankan kegiatan yang bersifat ritual-seremonial-spiritual, melainkan juga menjalankan berbagai program pelayanan yang menjawab kebutuhan real manusia. Gereja hadir dan melayani bukan terutama untuk dirinya sendiri, melainkan bagi banyak orang lain (bdk. Jürgen Moltmann, Church for Others)
Pada kesempatan indah mensyukuri berbagai berkat Tuhan atas gereja dan umat-Nya serta berefleksi (merenungkan) cinta-kasih, pemeliharaan dan kepedulian Tuhan kepada kita, termasuk melalui gereja-Nya, dan cinta-kasih kita kepada Tuhan dan gereja-Nya (d.h.i. GKPI), kita perlu melakukan evaluasi: sudah sejauh mana dan sesungguh apa kita sebagai pribadi dan keluarga maupun sebagai komunitas gereja/jemaat menjalankan tugas dan panggilan kita sebagai jawaban kita atas kasih, pemeliharaan, dan kepedulian Tuhan? Apakah yang kita lakukan – termasuk di jemaat kita masing-masing – selama ini sudah sunggguh-sungguh mencerminkan cinta-kasih kita kepada Tuhan dan gereja-Nya? Apakah tujuan kita bergereja hanya untuk mencari kepuasan (sabas)? Apakah gereja hanya hadir untuk dirinya?
Saat ini kita diserbu oleh berbagai informasi dan tawaran kemajuan iptek, terutama di bidang IT, dengan berbagai istilah dan instrumen baru: artificial intelligence, algoritma, metaverse, ChatGPT, threads, dsb. Sejauh mana gereja dan jemaat kita siap menjawab tantangan ini, demi meningkatkan pelayanan dan tidak terjerumus ke dalam dehumanisasi, robotisasi, dan hancurnya kehidupan? Sudah siapkah kita menyediakan program pembinaan untuk ini?
Pada buku Gereja – Menuju Sebuah Visi Bersama, Bab 4, Gereja di dalam dan bagi dunia, butir 66, WCC a.l. menyatakan: “Gereja terdiri dari semua kelas sosio-ekonomis; baik orang-orang kaya maupun orang-orang miskin membutuhkan keselamatan yang hanya dapat disediakan oleh Allah. Dengan meniru teladan Yesus, Gereja dipanggil dan diberdayakan dengan cara khusus untuk berbagi dengan mereka yang menderita dan peduli pada mereka yang membutuhkan dan dipinggirkan. Gereja mewartakan kata-kata pengharapan dan penghiburan dari Injil, terlibat dalam karya-karya belasrasa dan belas-kasihan (bnd. Luk. 4:18-19) dan ditugasi untuk menyembuhkan dan mendamaikan hubungan-hubungan manusia yang rusak, serta untuk melayani Allah di dalam pelayanan pendamaian bagi mereka yang terpisah oleh kebencian atau pengasingan (bnd. 2Kor. 5:18-1).” Dan mengakhiri uraiannya dalam bukuitu (h. 69), WCC menyimpulkan: “Kristus mencintai Gereja … (Ef. 5:25; bdk. Why. 19:7) dengan membagikan kepadanya misi-Nya untuk membawa terang dan penyembuhan pada umat manusia, hingga Ia datang kembali di dalam kemuliaan.”
Daftar Pustaka
Alkitab Terjemahan Baru Edisi 2. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2023.
Almanak GKPI 2023. Pematangsiantar: Kolportase Sinode GKPI, 2023.
Aritonang, Jan S. Yubileum 50 Tahun GKPI – Tinjauan Sejarah dan Pandangan ke Depan. Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014.
Aritonang, Jan S. et al., Mereka Juga Citra Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.
Buku Penggembalaan Pranikah GKPI. Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014.
Pokok-pokok Pemahaman Iman (P3I) GKPI. Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 1993.
Tata Penggembalaan GKPI. Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014.
Warneck, Johannes. Kamus Batak-Toba Indonesia (aslinya berbahasa Jerman; terjemahan Indonesia dan pemutakhiran oleh Pastor Leo Joosten OFMCap). Medan: Bina Media Perintis, 2009.
World Council of Churches (WCC). The Church: Towards a Common Vision. Geneva, 2018 (terj. Indonesia oleh Joas Adiprasetya: Gereja – Menuju Sebuah Visi Bersama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019).
dan sejumlah tulisan di media massa dan media digital-elektronik.
[1] Pengolahan makalah di Seminar Keluarga GKPI JK Bandung, Jl. Ciliwung 20 Bandung, Minggu 30 Juli 2023.
[2] Secara generik Jemaat adalah gereja lokal (sesetempat). Di GKPI hingga tahun 2022 ada 1.154 Jemaat (Almanak GKPI 2023, h. 381).
[3] Eklesiologi (berasal dari istilah ekklesia) adalah cabang teologi yang mengkaji seluk-beluk gereja.
[4] Salah satu literatur terbaru adalah yang disusun dan diterbitkan World Council of Churches (WCC), The Church: Towards a Common Vision (2018) (terj. Indonesia: Gereja – Menuju Sebuah Visi Bersama (2019).
[5] Perjalanan/sejarah GKPI selama 50 Tahun lihat a.l. dalam Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI – Tinjauan Sejarah dan Pandangan ke Depan (Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014). Buku ini banyak diacu pada uraian selanjutnya.
[6] Rangkaian pergolakan itu dipaparkan agak rinci dalam Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, 31-57.
[7] Dalam Kamus Batak-Toba Indonesia (aslinya disusun Johannes Warneck dalam bahasa Jerman; terjemahan Indonesianya, sekaligus pemutakhirannya, dilakukan Pastor Leo Joosten; Medan: Bina Media Perintis, 2009), 281, sabas = puas, menyenangkan.
[8] Rinciannya lihat Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, 98-100.
[9] Berdirinya dan perkembangannya lihat a.l. dalam Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, 76.
[10] Semula Yayasan Pendidikan Tunanetra (Yapentra), yang mengelola Lembaga/Sekolah Tunanetra di Tanjung Morawa, Sumut, diselenggarakan GKPI bersama Gereja Pentakosta Indonesia (GPI), didukung oleh Hildesheimer Blinden Mission (HBM) dari Jerman. Sejak 1994 Yapentra diselenggarakan GKPI saja, dengan tetap didukung HBM. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, 95-98.
[11] Uraian tentang perkembangan kegiatan dan wawasan GKPI di bidang p.I. lihat a.l. dalam Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, 80-82. Dalam perkembangan selanjutnya GKPI melanjutkan kegiatan p.I. sebagai bagian dari tugas gereja di bidang Apostolat (pengutusan)
[12] Uraian tentang Diakonia juga dapat dilihat a.l. dalam Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, 82-86.
[13] Kajian tentang diakonia, termasuk di GKPI, a.l. terdapat dalam Jan S. Aritonang et al., Mereka Juga Citra Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017).
[14] Garis besar isi GKU dan P3I GKPI ini lihat a.l. dalam Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, 102-106.
[15] Secara kuantitatif jumlah warga jemaat GKPI sejak awal 2000-an tidak banyak bertambah. Dari data dan tabel statistik di Almanak GKPI (Almanak GKPI 2023, h. 381) terlihat, jumlah warga GKPI dalam 20 tahun terakhir justru menurun (2003: 348.575; 2022: 289.730). Boleh jadi pada tahun 2001-2002 terjadi salah hitung atau salah cetak; boleh jadi juga sejak 2003 banyak jemaat tidak menginformasikan jumlah warganya secara akurat, kuatir akan dibebani kewajiban keuangan yang kian besar/berat. Yang agak meningkat adalah jumlah resort dan jemaat khusus maupun jumlah pendeta. Sampai medio 2023 ini jumlah pendeta GKPI sudah > 300.
[16] Ungkapan ini merupakan salah satu semboyan GKPI, sesuai dahaga dan kerinduan sejak awal berdirinya, dan lukisannya selalu tercetak di Almanak GKPI.
[17] Pada awalnya (sejak akhir 1960-an hingga 2013 GKPI menyusun dan menggunakan dokumen penggembalaan yang dinamakan Hukum Siasat Gereja (HSG). Tetapi kemudian disadari bahwa HSG ini lebih menekankan penerapan siasat (penegakan disiplin dan sanksi), dan ada banyak perkembangan dalam kehidupan manusia yang belum disentuh HSG itu. Maka pada Sinode Am GKPI 2013 ditetapkanlah Tata Penggembalaan tersebut di atas, disusul dengan [Tata] Penggembalaan Pranikah dua tahun kemudian (2015).
[18] Mari kita perhatikan majalah kita SUARA GKPI. Isinya sebagian besar berita yang bersifat ritual-seremonial: perayaan-perayaan (Natal, Paskah, HUT, dsb.), bimbingan/pembahasan nas khotbah, lalu ditutup dengan laporan penerimaan setoran jemaat/resort. Tidak banyak laporan pelaksanaan program GKPI pada aras Sinode yang mengacu pada Renstra, maupun laporan belanja/pengeluaran di aras Sinode. Akibatnya a.l. tidak banyak warga jemaat yang tertarik membaca (dan membeli), bahkan juga para penatua, sehingga majalah itu sering teronggok (bahkan tercampak dan terserak) di ruang konsistori atau kantor jemaat.
[19] Berbicara tentang gereja (termasuk jemaat sebagai gereja lokal) berarti kita terutama berbicara tentang manusia (personal-individual maupun komunal) milik Tuhan. Kalaupun gereja/jemaat itu memiliki serta mengembangkan beraneka ragam aset dan inventaris fisik (termasuk dana), dan itu juga perlu dicatat dan dimutakhirkan secara berkala, namun yang paling penting dipelihara dan dipedulikan adalah manusianya. Gereja pada aras Sinode (termasuk Sinode GKPI) tentu perlu juga menyusun dan mengembangkan database, tetapi cakupannya berbeda dari database di jemaat.
0 Comments