Kamis Putih, 28 Maret 2024

Evangelium: Yohanes 13:1-17

APA ITU IBADAH KAMIS PUTIH?

Dalam sejarah hari perayaan liturgi gerejawi ataupun kalender gerejawi, kita mengenal masa Prapaskah yang berlangsung selama 40 hari. Hari pembuka masa Prapaskah disebut Rabu Abu (Ash Wednesday) dan hari penutup masa Prapaskah itu disebut Kamis Putih (Holy Thursday atau Maundy Thursday). Sebutan “Maundy” berasal dari kata Prancis kuno “Mande”, dan kata “Mande” ini berasal dari kata Latin “Mandatum” yang berarti “perintah”. Kata ini diambil dari kata pertama dalam Yohanes 13: 34 di Alkitab berbahasa Latin, Mandatum novum do vobis, ut diligatis invicem…”.

Dalam sejarah gereja (terutama mulai abad ke-7), Ibadah Kamis Putihbiasanya dilayankan dalam tiga kebaktian pada satu hari itu, yaitu pada waktu pagi, siang, dan senja. Ibadah Kamis Putih pagi dan siang dilayankansebagai penutup masa Prapaskah. Sedangkan Ibadah Kamis Putihsenja hari yang dimulai pada pukul 6 sore dilayankan sebagai hari pembuka tri hari Paskah (Jumat Agung, Sabtu Suci/Sunyi, Minggu Paskah). Sebagai catatan, dalam hal ini Gereja perdana mengikuti pembagian waktu sehari dalam dunia sosial orang Yahudi, yaitu hari baru selalu dimulai pada pukul 6 sore; dengan demikian, hari Kamis Putih senja sudah dapat disebut sebagai hari Jumat Agung. Pada senja hari inilah dilaksanakan dua hal yang menjadi kekhasan Ibadah Kamis Putih (mengacu kepada Injil Yohanes 13: 1–35), yaitu: perjamuan kudus dan pembasuhan kaki.

Adolf Adam, seorang pakar liturgi Kristen, mengatakan bahwa Ibadah Kamis Putih memiliki spirit yaitu suatu pengenangan atau penghayatan peristiwa Perjamuan Malam Terakhir Yesus dengan para murid, pentradisian Ekaristi (Perjamuan Kudus) dan pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus terhadap para murid yang menyimbolkan sisi kehambahan-Nya yang penuh kasih. Ritus pembasuhan kaki, menurut Rasid Rachman, yang juga pakar liturgi Kristen Indonesia, menggambarkan suatu disiplin spiritualitas yang bermakna saling melayani, saling mengampuni, saling merendahkan hati di hadapan Kristus Yesus.         

TAFSIRAN YOHANES 13: 1-17

Perjamuan malam terakhir Yesus bersama para murid (“mereka sedang makan bersama”, 13: 2) yang diceritakan Injil Yohanes adalah perjamuan “sebelum hari raya Paskah (Yahudi) mulai” (13: 1). Narasi ini sungguh berbeda dengan Injil-Injil Sinoptik yang mengisahkan perjamuan Yesus dengan para murid terjadi pada saat perjamuan Paskah Yahudi. Mengapa Yohanes berbeda dari Injil-Injil Sinoptik? Yohanes pastinya memiliki pandangan teologis tertentu. Ia ingin mengatakan bahwa Paskah yang sejati terjadi dalam pengorbanan Yesus di salib, dan bukan pada hari raya Paskah Yahudi. Itulah sebabnya perjamuan yang diceritakan Yohanes (psl. 13) secara spesifik bukanlah perjamuan seperti dalam Injil-Injil Sinoptik (ada pembagian roti dan anggur beserta formula kalimat “Inilah tubuh-Ku… Inilah darah-Ku”), melainkan perjamuan yang menyertakan pembasuhan kaki dan tuturan panjang mengenai perpisahan.

Mengenai perpisahan itu dikisahkan dengan kalimat, “Yesus tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa(13: 1). “Saat” yang dimaksud di sini adalah saat kematian dan kebangkitan-Nya. Menurut Injil Yohanes, kematian Yesus bukanlah menandakan suatu penghinaan ataupun hal memalukan, melainkan justru peninggian dan pemuliaan. Kematian Yesus di kayu salib –itulah Paskah sejati itu– adalah saat peninggian-Nya, dan kebangkitan serta kembalinya Yesus kepada Bapa adalah saat pemuliaan-Nya. Yesus sadar bahwa Ia akan “beralih dari dunia ini kepada Bapa” sama artinya dengan Dia sadar bahwa “Ia datang dari Allah dan kembali kepada Bapa” (13: 3). Yesus adalah utusan Bapa untuk membawa orang-orang percaya kepada Bapa Yang Maha Pengasih dan Maha Rahim, Sumber Terang dan Kehidupan Sejati. Misi itu Ia jalankan dengan setia. Untuk menjalankan misi penting itu, Yesus harus mengawalinya melalui jalan kesengsaraan dan penderitaan. Yohanes mengisahkan titik awal menuju kesengsaraan itu, “dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia.” (13: 2). Yesus tentu tahu pengkhianatan Yudas Iskariot (13: 21-30). Kendati demikian, Yesus yang penuh cinta kasih itu senantiasa “mengasihi mereka sampai pada kesudahannya” (13: 1). Ia menunjukkan bahwa orang-orang terdekat itu begitu berharga dan terhormat. Ia mencintai mereka sepenuh-penuhnya, tidak setengah-setengah, sampai tujuan kedatangan-Nya terlaksana, yaitu membawa manusia dekat kepada Allah, Sumber Terang dan Kehidupan. Yesus ingin menyadarkan para murid, sekalipun dunia ini masih terancam oleh kuasa kegelapan, Ia tetap setia dan berjuang untuk membawa manusia kembali kepada Allah. Andai kata para murid menyadari apa yang telah dilakukan oleh Yesus ini,  mereka akan paham bahwasanya tujuan hidup sejati manusia ialah: kembali kepada Bapa bersama dengan Dia yang telah diutus-Nya! Itulah jalan keselamatan bagi manusia.

Yesus mengajarkan para murid suatu teladan kehidupan yang berasal dari kesadaran akan asal-usul-Nya (dari Bapa dan kembali kepada Bapa). Artinya, Ia ingin memperlihatkan bahwa realitas yang sejati itu adalah realitas yang berasal dari Bapa dan dikehendaki oleh Bapa, dan bukan oleh dunia ini. Realitas dunia ini, pada hakikatnya, memang sungguh berlawanan dengan realitas kehendak Allah. Hal inilah yang mestinya disadari para murid. Yesus menunjukkan realitas kehendak Bapa itu melalui pembasuhan kaki. Segera pula Yohanes memperlihatkan bahwa pola pikir para murid masih berkutat pada realitas duniawi, yang diwakilkan oleh Petrus.

Simon Petrus amat terkejut ketika Yesus menanggalkan jubah-Nya, mengambil kain lenan, menuangkan air di dalam sebuah basi dan mulai membasuh kaki para murid hingga tiba pada gilirannya (13: 4-8). Mengapa Petrus terkejut dan kemudian menolak kakinya dibasuh oleh Yesus? Karena pola pikir Petrus masih berkutat pada adat-budaya Yahudi yang berlaku pada waktu itu. Yaitu, pembasuhan kaki hanyalah boleh dilakukan oleh budak kepada tuannya. Dan biasanya hanya tamu terhormat atau guru dan orang yang dituakan sajalah yang dibasuh kakinya sebelum masuk ke ruang perjamuan. Artinya, bagi adat-budaya orang Yahudi, yang “bawahan” yang membasuh kaki “atasan”, dan bukan sebaliknya. Tetapi lihatlah apa yang dilakukan Yesus: Ia justru menjungkirbalikkan adat-budaya orang Yahudi itu, mentransformasinya, dengan menegakkan budaya baru yang berasal dari kehendak Bapa!

Yesus pertama-tama menanggalkan jubah-Nya. Jubah merupakan simbol keagungan si pemakainya. Itu berarti, Yesus menanggalkan kemapanan ataupun keagungan-Nya. Kemudian Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Di situlah Ia mengambil peran sebagai seorang “budak” yang membasuh kaki para tamu/tuan yang terhormat! Maknanya apa? Pertama, Yesus ingin memberikan pelajaran penting bagi para murid dan semua orang di dunia: jangan ada lagi pembedaan-pembedaan golongan di dalam masyarakat! Jangan lagi ada perbudakan dan sistem perbudakan! Sebab pada hakikatnya semua manusia setara di hadapan Allah. Jadi, secara blak-blakan di sini Yesus mengkritik budaya atau adat-istiadat yang keliru dan salah (yang berpola relasi “tuan-budak”), yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Kedua, Yesus ingin menumbuhkan di dalam diri setiap orang sikap melayani sesama dengan rendah hati. Melayani menjadi kewajiban bagi setiap murid Yesus. Ini perintah untuk proaktif. Artinya, jangan menunggu-nunggu untuk dilayani baru kemudian mau melayani, melainkan harus berlomba untuk terlebih dahulu atau menjadi yang tercepat berinisiatif melayani. Melayani secara proaktif demikian hanya mungkin dilakukan jikalau di dalam diri kita terdapat kerendahan hati yang terbalutkan cinta kasih.      

Pembasuhan kaki yang dilakukan oleh Yesus adalah suatu teladan/contoh (13: 15) dan wujud cinta kasih yang mesti ditiru, diteladani dan dilakukan murid-murid-Nya. Inilah pula menjadi perintah baru dari Kristus untuk kita semua (13: 34-35). Yesus mewajibkan para murid untuk saling membasuh kaki sebagai suatu cara hidup dalam relasi setara satu sama lain (tidak ada yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah!). Bukankah seorang hamba tidak lebih tinggi dari tuannya (13: 16)? Kalau sang tuan (Yesus yang adalah sang tuan yang menghamba) membasuh kaki seorang hamba (murid yang meniru/meneladani kehambaan Yesus), sudah semestinya hamba membasuh kaki hamba yang lainnya! Inilah, yang sekali lagi, dikehendaki oleh Bapa melalui Yesus Kristus. Simon Petrus yang menolak kakinya dibasuh oleh Yesus semula tidak memahami kehendak Allah sehingga Yesus mengatakan bahwa ia akan memahaminya “kelak” (13: 7). Saat ini, ketika pikiran Petrus masih dilingkupi cara pikir duniawi –adat kebiasaan Yahudi yang keliru–, ia belum bisa terbuka pada realitas kehendak Allah, tetapi ada saat di mana ia nanti akan memahami ini –dan di saat itulah ia baru mengerti perkataan Yesus bahwa ia akan mendapat bagian di dalam Dia (13: 8); artinya Petrus akan semakin mengenali Yesus yang berasal dari Bapa dan melakukan kehendak Bapa (asal-usul dan tujuan Yesus), dan ia pun meneladani Yesus dan mengambil bagian dalam misi-Nya untuk membawa manusia kembali kepada jalan keselamatan, melalui Yesus Kristus, menuju Bapa, Sang Sumber Kehidupan Sejati–.

Yesus menegaskan, ketika kita mengetahui dan melakukan pembasuhan kaki versi Yesus, kita akan berbahagia (13: 17). Kata “berbahagialah” (bhs. Yunani: Makarioi) pada ayat ini dapat juga diartikan sebagai “diberkatilah”. Jadi, maknanya bukan hanya pada masalah perasaan (berbahagia), melainkan kenyataan bahwa kita diberkati Tuhan apabila kita membasuh kaki sesama berdasarkan pemaknaan yang telah diajarkan oleh Yesus Kristus, ataupun bilamana kita menghayati dan menerapkan perilaku kerendahan hati dan cinta kasih kepada sesama kita. Janganlah kerendahan hati dan cinta kasih hanya sebatas teori tanpa praktek. Anda akan menjadi orang berpengetahuan tapi tanpa ketaatan. Tetapi jangan juga kerendahan hati dan cinta kasih itu hanya sebatas praktek tanpa teori. Anda akan menjadi orang taat yang buta. Ketaatan Anda adalah ketaatan tanpa tahu apa-apa. Sejatinya teori dan praktek, pengetahuan dan ketaatan, haruslah berjalan seiringan dan seirama.

EKSPRESI DAN ESENSI

Esensi tak sejalan dengan ekspresinya. Dengan kesadaran bahwa perbudakan (terutama perbudakan modern/kontemporer) merupakan perilaku yang sungguh merendahkan martabat kemanusiaan, PBB menetapkan setiap tanggal 02 Desember sebagai Hari Penghapusan Perbudakan Internasional (International Day for the Abolition of Slavery). Kendati demikian, tidak berarti perbudakan modern lalu terhapus dari kehidupan manusia di bumi ini. Di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, perbudakan modern masih terjadi, seperti misalnya: perdagangan manusia (terutama perempuan dan anak), perbudakan seksual, perkawinan paksa, dan eksploitasi/kekerasan tenaga kerja, dlsb. Bukan tidak mungkin para pelaku perbudakan modern ini adalah orang-orang yang berpendidikan dan mengetahui tentang pentingnya meninggikan martabat kemanusiaan. Bukan tidak mungin juga bahwa para pelaku ini adalah orang-orang Kristen! Namun, faktor arogansilah yang membuat para penindas/penjajah mampu menutup mata pada praktek perbudakan yang mereka lakukan.         

Konsep perbudakan berdiri di atas pengandaian, bahwa ada tingkatan manusia. Kelompok manusia tertentu dianggap lebih unggul daripada kelompok manusia lainnya. Terjadilah pembedaan/pengelompokan manusia. Kelompok yang lebih unggul/kuat merasa memiliki hak untuk menindas kelompok yang lebih tak berdaya. Perbudakan kemudian tidak hanya menjadi biasa, tetapi menjadi keharusan alamiah (hukum alam)! Perbudakan, melalui kekuatan sosial politik dalam masyarakat, lama-kelamaan menjadi budaya yang lestari dan tak perlu dipertanyakan kembali! Sadarkah kita, bahwa arogansi, keangkuhan, atau kesombongan sesungguhnya berada di balik semua ini? Yesus justru membongkar ini semua sampai ke akar-akarnya; bahwa akar dari segala penindasan/perbudakan adalah arogansi. Yesus lalu menjungkirbalikkan arogansi, dan menegakkan kerendahan hati. Sekaligus, Yesus mengingatkan: apabila kita sudah paham akar dari perbudakan adalah arogansi, tetapi kita seakan menutup mata terhadapnya, kita justru terbelenggu di dalam kemunafikan. Esensi (kerendahan hati) yang tak sejalan dengan ekspresi (pembebasan dari sistem perbudakan) akan melahirkan kemunafikan.

Di sisi lain, hati-hatilah, ternyata kerendahan hati pun bisa diganduli arogansi atau keangkuhan atau kesombongan! Orang yang terkesan rendah hati ternyata dalam hatinya ingin dipuji. Terlihat mengabdi seperti hamba padahal dalam hatinya ingin dijadikan raja. Jadi, kerendahan hati dipakai sebagai pertunjukan (ekspresi) semata untuk mengejar pujian dari orang-orang. Kerendahan hati tidak menjadi sifat mendasar (esensi) di dalam perilaku. Inilah yang terjadi jika orang lebih mementingkan ekspresi ketimbang esensi! Praktek pembasuhan kaki yang dilakukan pada Ibadah Kamis Putih di gereja pun rentan menjadi sekadar pertunjukan atau show, apabila di dalam hati orang-orang yang melakukannya menyimpan suatu maksud tersembunyi, yakni mendapatkan simpati dan pujian, yang pada akhirnya bermuara pada arogansi –ingin ditinggikan atau dimuliakan–. Hal ini justru kebalikan dari apa yang telah dilakukan oleh Yesus: Dia merendahkan diri-Nya dengan membasuh kaki para murid. Sementara kita meninggikan diri dengan jalan membasuh kaki sesama kita. Kita menipu sesama dengan memanfaatkan alasan kerendahan hati untuk memperoleh kemuliaan di atas sesama. Yesus membongkar dan menjungkirbalikkan sistem perbudakan. Kita malah ingin mengembalikan lagi sistem perbudakan (dan pembedaan/pengelompokan manusia dan arogansi).    

   Ekspresi sejalan dengan esensinya. Kata kunci agar kerendahan hati sungguh-sungguh merupakan esensi di dalam setiap wujud ekspresinya adalah solidaritas dengan Yesus. Solidaritas melukiskan perasaan senasib, setia-kawan, yang didasarkan pada persahabatan dan pengenalan yang begitu akrab dan intim. Solidaritas dengan Yesus memperlihatkan bagaimana pengenalan dan persahabatan kita terhadap asal-usul dan misi Yesus (dari Bapa dan kembali ke Bapa). Sebagaimana Ia meninggalkan keagungan-Nya, semestinya kita pun begitu. Kita belajar meninggalkan pola pikir mengejar arogansi. Kita belajar mengatakan kepada diri: “Aku bukanlah siapa-siapa!” Dengan demikian, kita belajar pula untuk tidak memusatkan perhatian pada diri sendiri, melainkan beralih untuk memandang Yesus, dan memandang sesama kita. Terlebih, kita memandang dan menyentuh kaki sesama yang kita basuh. Kita meresapi, bahwasanya kaki sesama itu, sama seperti kaki kita sendiri, sama-sama diciptakan Allah untuk berjalan menapaki jejalanan kehidupan ini untuk menjumpai Dia, berjalan bersama-sama dengan Kristus, berjalan mengikut Kristus!

Solidaritas dengan Yesus mengarahkan kita kepada solidaritas dengan sesama kita. Kita meresapi, saat kita menyentuh dan membasuh kaki sesama itu, inilah kaki-kaki yang selama ini berjuang berjalan di tengah kerikil-kerikil sistem perbudakan yang mengerdilkan kemanusiaannya. Dan inilah kaki-kaki sesama yang merindu untuk menjalani kehidupan yang memanusiakan manusia. Inilah kaki-kaki sesama yang ingin kembali ke jalan keselamatan di dalam Yesus Kristus, ke cinta kasih Bapa Sang Terang dan Kehidupan Sejati itu. Karena kita meresapi dan menghayatinya, maka muncul kesetiakawanan di dalam hati kita untuk mendukung langkah kaki sesama itu, untuk berjalan bersama dia menghapus sistem-sistem perbudakan di dalam kehidupan ini.

Mungkin pula, dalam meresapi pembasuhan kaki itu, kaki-kaki sesama itu telah melangkah di jalan sistem-sistem perbudakan yang merendahkan kemanusiaan sesamanya, namun kita tetap membasuhnya dengan cinta kasih. Kita belajar untuk tidak menjadi hakim baginya. Sambil membasuh kaki itu, kita membayangkan mungkin juga kaki kita sendiri pernah melangkah di jalan yang serupa dengan kaki sesama itu. Kita belajar untuk mengampuni diri kita sendiri, sembari mengampuni sesama kita itu. Namun, kita pun tergerak oleh kerendahan hati menuju kesadaran, bahwa pada dasarnya kerinduan kita dan sesama itu adalah berharap menemukan jalan menuju keselamatan.

Orang yang membasuh kaki sesamanya tidak akan tergoda dengan “show” atau pertunjukan, sebab ia “disibukkan” dengan suatu pekerjaan yang mengarahkan seluruh perhatiannya pada cinta kasih dan kerendahan hati di dalam sentuhan makna kehidupan pada kaki sesama yang sedang dibasuhnya. Praktik pembasuhan kaki itu menjadi daya kekuatan baginya untuk berjuang melawan sistem-sistem perbudakan, mengasihi sesama, bersolidaritas dengan sesama yang menderita ketertindasan, di dalam hidup kesehariannya. Ia pun belajar untuk tidak hidup di dalam kemunafikan, sebab ia tidak menutup mata terhadap realitas perbudakan di dalam hidup keseharian. Ia sadar, bahwa esensi dengan ekspresi harus menyatu-harmonis, tidak boleh dipisahkan. ***      

Oleh Pdt. Jimmy Simangunsong (Jimm Song)

(GKPI JK Citra Raya, Tangerang, Wil. XI)

Pondok Hauma, Valentine Day, 14 Feb 24

Categories: Bahan Khotbah

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *