Kamis Putih, 28 Maret 2024

Epistel: Mazmur 116: 12-19

MAZMUR PUJI SYUKUR PERORANGAN

Mazmur 116 dapat digolongkan ke dalam kelompok Mazmur Puji Syukur Perorangan (perhatikanlah kata-kata “Aku” dalam Mz. 116). Mazmur Puji Syukur memiliki ciri khas, yakni merupakan jawaban terhadap suatu tindakan Allah yang khusus yang baru saja dialami, lalu kemudian diceritakan. Pujian itu merupakan ungkapan kelegaan dan kegembiraan seseorang yang baru saja ditolong atau diselamatkan, lalu memuji atau bersyukur kepada Allah atas pertolongan-Nya. Jadi, di dalam Mazmur Puji Syukur ini terdapat hal-hal penting ini : Seruan pada saat mengalami krisis kehidupan, cerita tentang tindakan penyelamatan dari Allah, dan respons atau niat ajakan untuk memuji Allah.

TAFSIRAN MAZMUR 116: 12 – 19

Di Mz. 119: 12 tertulis, “Bagaimana akan kubalas kepada Tuhan segala kebajikan-Nya kepadaku?” Kalimat ini dalam bahasa Ibraninya berarti: “Apakah yang akan kuberikan kepada Tuhan atas semua kebaikan-Nya kepadaku?” Kebaikan Tuhan yang dialami si pemazmur di sini tentu saja terkait dengan krisis kehidupan yang sebelumnya dihadapinya. Krisis yang dimaksud tidak mendetail disebutkan, kecuali hanya keadaan penderitaan yang berhadapan dengan sheol atau dunia kematian (ay. 3, 8). Keadaan ini sungguh membuat si pemazmur sangat tertindas (ay. 10). Saat ia berseru memohon pertolongan dari Tuhan (ay. 4), Tuhan ternyata mendengarkan seruan permohonannya dan melakukan tindakan penyelamatan sehingga ia terhindar dari maut (ay. 1, 2, 6, 8, 16). Tindakan kebaikan Tuhan ini melahirkan pengakuan di dalam iman si pemazmur, bahwa sesungguhnya Tuhan itu pengasih, adil, penyayang dan pemelihara orang-orang sederhana (ay. 5-6).

Bagi seorang yang diselamatkan dari maut dan dunia orang mati (sheol) pasti akan merasa bersyukur tak terkira. Rasa syukur itu lalu mendorongnya untuk merespons kebaikan Tuhan yang telah dialaminya dengan empat hal (ay. 13-14, 17-19), antara lain:

Pertama, mengangkat piala (cawan atau mangkuk) keselamatan. Kemungkinan hal ini merujuk kepada korban curahan dengan mempersembahkan anggur kepada Tuhan (Bilangan 15: 8-10). Kedua, menyerukan nama Tuhan. Seruan ini merupakan janji untuk memperlihatkan kesetiaan kepada Allah dan bergantung hanya kepada-Nya. Ketiga, membayar nazar. Sebelumnya si pemazmur bernazar atau berjanji dalam memohon pertolongan Tuhan. Sekarang nazar itu dipenuhinya, dengan memberikan persembahan di hadapan jemaat. Keempat, mempersembahkan korban syukur. Ini adalah respons yang benar dan tepat terhadap kebaikan dan kemurahan hati Tuhan yang telah dialami si pemazmur (Imamat 7: 12). Korban syukur ini diberikan di hadapan jemaat di pelataran rumah Tuhan. Fungsinya adalah sebagai wujud kesaksian seorang jemaat di depan jemaat lainnya di dalam komunitas tentang terkabulnya doanya oleh kemurahan hati Allah, serta mendorong jemaat untuk bergabung dalam memuji kebaikan Allah.                  

Ayat 15, “Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya”, sering dipakai dalam ibadah kematian bagi orang-orang Kristen. Namun, bila kita melihat konteks ayat ini di dalam pasal 116, kita akan melihat bahwa ayat ini agaknya ingin mengatakan bahwa bagi Allah, Ia sungguh menganggap serius kematian orang-orang yang berbakti dan setia kepada-Nya. Kata “berharga” (Ibr. yaqar) bisa berarti “mahal”. Jadi, di mata Allah, karena begitu mahal kematian orang yang dikasihi-Nya, Ia lebih baik menyelamatkan orang tersebut daripada membiarkannya mati. Sehingga kehidupan yang diselamatkan itu berkualitas dan berdaya guna untuk bersyukur dan memuliakan Tuhan.

REFLEKSI

Mazmur ini mengajak kita untuk melihat kembali saat-saat kita mengalami kesusahan, penderitaan, atau krisis kehidupan. Semoga kita tidak segera melupakannya. Mari meluangkan waktu untuk mengingatnya. Dengan mengingat-ingat masa-masa kesusahan ataupun penderitaan yang pernah kita alami itu niscaya akan membawa kita pada refleksi: bagaimana karya dan tindakan Allah menyelamatkan kita dalam kesusahan itu? Allah kita bukanlah Allah yang diam dan tak peduli pada penderitaan dan kesusahan kita. Dia adalah Allah yang mendengarkan permohonan kita. Maka, satu hal penting bagi kita ketika dilanda kesusahan dan penderitaan hidup, janganlah sampai lupa memanggil dan memohon pertolongan Allah. Hanya Dia yang sanggup dan mampu menolong kita, bahkan saat kita berada di ambang maut sekalipun. Allah, dengan cara-Nya sendiri, pasti dan selalu menyelamatkan kita yang beriman kepada-Nya. Hendaknya penyelamatan Allah ini jangan didiamkan, tetapi diceritakan. Cerita tentang penyelamatan Allah akan menjadi kesaksian kepada orang-orang lain, agar mereka pun ikut merasakan kebaikan Allah. Ketika orang-orang sadar akan kebaikan Allah, mereka akan ikut memuji Allah. Semua orang pada saatnya akan menyadari, bahwa selalu ada campur tangan Allah untuk menyelamatkan umat-Nya dari kesusahan mereka.

Kebaikan Allah yang kita rasakan dan alami secara nyata dalam krisis kehidupan melahirkan respons murni, yakni: penyembahan – persembahan. Lahirlah pujian dan ibadah kepada Allah, sekaligus keinginan dan komitmen untuk mempersembahkan hidup yang terbaik dan berkualitas kepada-Nya. Dua hal ini bagai dua sisi dalam sekeping uang logam, artinya tidak terpisahkan. Tidak mungkin kita beribadah memuji Tuhan namun tidak memberikan hidup terbaik bagi-Nya. Sebaliknya, tidak mungkin juga kita memberikan hidup terbaik bagi Tuhan tanpa beribadah kepada-Nya. Tindakan dalam beribadah harus sejalan dengan tindakan mempersembahkan kehidupan terbaik dalam hidup keseharian.

Namun, perlu sekali disadari, bahwa dasar kita beribadah memuji Tuhan dan mempersembahkan hidup terbaik kepada Tuhan adalah karena kita telah diselamatkan atau mengalami keselamatan oleh Allah melalui Kristus Yesus! Jika kita tidak menyadari dasar ini, ibadah dan persembahan kita akan menjadi hambar, lalu mengarah kepada egosentrisme. Terasa hambar, karena kita tidak tahu lagi hakikat ibadah yang sebenarnya –yakni menyembah dan memuji Tuhan yang telah menyelamatkan kita–. Ibadah menjadi sebatas show atau pertunjukan kebolehan untuk bernyanyi, bermusik, dlsb. Ibadah menjadi ditujukan bukan untuk Tuhan, melainkan untuk manusia. Terasa egosentrisme, karena ibadah dan persembahan yang kita berikan ditujukan untuk kemuliaan diri sendiri, bukan untuk kemuliaan Tuhan. Padahal, sekali lagi, ibadah kita dan persembahan kita mestinya didasari dan dihayati dalam rasa syukur atas keselamatan yang telah dan selalu diberikan Allah kepada hidup kita. Inilah yang kiranya kita ingat dan tanamkan di dalam kehidupan kita sehari-hari, terlebih dalam Ibadah Kamis Putih ini. ***    

Oleh Pdt. Jimmy Simangunsong (Jimm Song)

(GKPI JK Citra Raya, Tangerang, Wil. XI)

Categories: Epistel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *