MENGGEREJA DI TENGAH DISRUPSI DIGITAL

Sebuah refleksi di Ulang Tahun GKPI ke-57

(Pdt. Anwar Tjen, PhD)

Sebelum Pentakosa, hari lahirnya gereja, Yesus yang bangkit berpesan, “Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kis 1:8). Gereja akan selamanya terbatas di Palestina andaikata Roh Kudus tidak menggerakkan para murid menyeberang batas-batas geografis, etnis, dan kultural untuk mewartakan karya Kristus bagi ciptaan-Nya. Keluwesan penuh dinamika dalam karya Roh inilah yang memampukan umat beriman hadir dalam situasi dan konteks yang berubah-ubah.

Di usia GKPI yang ke-57 kita kembali mengakui bahwa gereja ada sebagai karya Roh Kudus yang memanggil manusia dari segala suku, bangsa, kaum dan bahasa ke dalam satu persekutuan di dalam Kristus (Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI, disingkat PPPI GKPI, Bab VII, 1; bnd. 1 Kor 12:3). Dalam perspektif teologis kita meyakini bahwa gereja bukanlah produk perjuangan manusia semata-mata melainkan karya Allah Tritunggal. Di satu sisi, perpecahan gereja tak dapat dibenarkan (Dr. Andar Lumbantobing). Di sisi lain, fakta sejarah menunjukkan, ada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mendirikan organisasi gereja baru (Dr. Sutan M. Hutagalung). Di bawah terang ajaran Alkitab (Sola Scriptura), Reformasi yang bergulir lebih dari 500 tahun lalu di Eropa telah melahirkan berbagai gereja baru yang dalam perspektif eklesiologis tetaplah bagian dari tubuh Kristus yang satu – meskipun terluka – di sepanjang zaman (bnd. PPPI GKPI, Bab VI, 3).

PR lama dalam konteks baru

Konteks lahirnya GKPI sendiri di era 1960an tentulah berbeda dengan konteks abad ke-21 yang ditandai dengan masifnya penetrasi teknologi digital. Namun, kita tidak menutup mata bahwa kerinduan akan pelayanan yang meneladani Gembala Yang Baik – seperti yang sering diungkapkan di fase awal berdirinya GKPI – belum terjawab secara memuaskan. Survei yang dilakukan tim Rencana Strategis GKPI 2015-2030, misalnya, menemukan bahwa  masih banyak pelayan (pendeta, guru jemaat, penatua) yang tidak mengerti makna pelayanan. Masih banyak pendeta yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok, kurang memiliki motivasi dalam pelayanan, sangat dipengaruhi materi, menyampaikan khotbah yang kurang memberi pencerahan sesuai dengan perkembangan zaman.

Tak hanya catatan kritis, survei yang sama merangkum berbagai harapan para warga GKPI: agar GKPI menjadi gereja yang fleksibel yang melihat tanda-tanda zaman, yang bernafaskan Roh Kudus, sungguh-sungguh menginjili, melayani, memiliki semangat pelayanan, peka terhadap kebutuhan jemaat, terbuka bagi semua orang, dan berbuat di tengah-tengah masyarakat yang tertindas dan hidup dalam penderitaan. Selain itu, disarankan pula pembenahan dan pemberdayaan SDM di segala aras dan bidang pelayanan, antara lain, dengan merekrut unsur pimpinan jemaat dari generasi muda, memberdayakan kaum awam untuk pengembangan GKPI dan juga generasi muda untuk memanfaatkan kreativitas mereka mengintegrasikan teknologi dan sistem informasi dalam berbagai kegiatan pelayanan.

Eklesiologi digital?

Kondisi nyata yang sedang dihadapi bersama-sama saat ini adalah pandemi Covid 19 yang melanda seluruh dunia. Dampak pandemi yang destruktif telah banyak dianalisis oleh berbagai kalangan dari beragam perspektif, dari segi medis, ekonomis, sosial, politis, dan ekologis. Berita yang bergulir, apalagi di masa awal pandemi, secara dominan menyebarkan ketakutan dan kebingungan. Kita menyaksikan betapa masifnya efek dari penggunaan teknologi digital. Secara positif media digital sangat bermanfaat, misalnya, untuk menggalang dukungan bagi para korban dan mengungkapkan solidaritas terhadap tenaga kesehatan yang bekerja di lini terdepan. Namun, media yang sama mudah dimanipulasi untuk menyebarkan kabar burung dan mendaur ulang hoaks.

Heidi Campbell, seorang pakar komunikasi berkebangsaan Amerika, mengidentifikasi beberapa ciri media digital yang mengubah lanskap komunikasi: (i) sifatnya yang dua arah: pengguna adalah sekaligus pembuat konten; (ii) tidak linear sehingga dapat diubah terus-menerus; (iii) memadukan berbagai media tradisional dalam satu platform serba pintar. Media baru, tegas Campbell, bukan hanya cara baru untuk mengakses informasi lama melainkan cara baru berkomunikasi yang berpotensi mentransformasi apa yang dikomunikasikan dan yang diyakini. Potensi inilah yang membuka peluang bagi gereja untuk hadir sebagai cyberchurch. Gereja online, gereja internet, gereja digital dan varian-variannya melaksanakan ibadah, menawarkan layanan pastoral, menyelenggarakan sakramen, mengadakan penelaahan Alkitab, seluruhnya secara virtual tanpa memerlukan kehadiran ragawi.

Di awal pandemi, diskusi paling seru di kalangan gereja masih terfokus pada keabsahan, keamanan, dan tata cara ibadah daring. Semua terbata-bata menghadapi perubahan tiba-tiba ketika pembatasan ketat diberlakukan oleh pemerintah terhadap aktivitas umat di rumah ibadah. Walaupun ibadah daring bukanlah hal baru, pandemi telah mengubah urgensinya bukan lagi sekadar pelengkap melainkan menjadi salah satu wujud utama dari pelayanan gereja. Situasi darurat ini telah menyingkapkan ketidaksiapan kebanyakan gereja untuk masuk ke era digital. Fasilitas dan persiapan teknis yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga dilakukan dengan kualitas seadanya. Di banyak sinode, termasuk GKPI, belum terpikirkan pentingnya tim khusus yang mengelola layanan digital secara reguler dan profesional.

Bentuk-bentuk kehadiran gereja secara daring, meskipun belum seektrem cyberchurch dan varian-variannya, telah memicu pertanyaan mengenai eklesiologi digital, dari dasar teologis hingga wujud praktisnya. Lama sebelum pandemi, Gereja Roma Katolik (GRK) telah mengantisipasi fenomena realitas virtual di cyberspace. Dalam dokumen “The Church and Internet” yang disiapkan oleh Komisi Kepausan untuk Komunikasi Sosial (2002) peluang dan tantangan yang dihadirkan oleh cybertechnology telah dikaji dan disikapi secara kritis-konstruktif. Bagi GRK segala bentuk komunikasi di dalam gereja dan oleh gereja bukan hanya soal teknis. Titik tolaknya adalah persekutuan cinta kasih di dalam diri Allah Tritunggal yang berkomunikasi dengan kita. Komunikasi berwatak Trinitarian inilah yang menjangkau umat manusia: “Sang Anak adalah Sabda yang secara kekal ‘difirmankan’ oleh Bapa; di dalam dan melalui Yesus Kristus, Anak dan Sabda yang menjadi daging, Allah mengkomunikasikan diri-Nya dan karya penyelamatan-Nya kepada perempuan dan laki-laki”.

Di satu sisi secara apresiatif diakui, penggunaan internet sangat relevan dengan berbagai aktivitas dan program gereja, misalnya dalam penginjilan, katekisasi, program menjangkau kaum muda, pembinaan warga gereja, administrasi, dan penatalayanan gereja. Di sisi lain, secara jelas ditegaskan: “realitas virtual  tidak dapat menggantikan komunitas interpersonal yang riil, realitas inkarnasional dari sakramen-sakramen dan liturgi, pewartaan Injil yang bersifat langsung”.  Pandangan GRK ini kembali ditegaskan oleh Paus Fransiskus di tengah-tengah situasi pandemi. Iman bukanlah iman virtual yang cukup dihayati secara individualistik melainkan selalu dalam konteks hubungan interpersonal dalam komunitas yang nyata.

Jika GRK telah mengantisipasi perkembangan media baru yang serba virtual, GKPI mengambil sikap yang kurang lebih praktis melalui surat-surat pastoral pimpinan sinode dengan memperhatikan, antara lain, rekomendasi-rekomendasi PGI. Intinya, bersama gereja anggota PGI lainnya, GKPI mendukung upaya semua pihak untuk memutus rantai penyebaran Covid 19 dengan menganjurkan ibadah di rumah demi keberpihakan kepada kehidupan. Hingga kini belum ada kajian yang substansial mengenai berbagai aspek kehidupan menggereja di era disrupsi digital yang diakselerasi oleh kondisi darurat pandemi.

Sakramen online?

Bila penyelenggaraan ibadah daring dapat dilihat sebagai pilihan yang meski kurang ideal tetapi cukup memadai dalam kondisi darurat, pertanyaan yang paling kontroversial adalah pelaksanaan Perjamuan Kudus (PK) secara daring. Bagi GRK, jawabannya sangat jelas: Tidak ada sakramen yang dilayankan secara online. Dalam ekaristi, roti dan anggur benar-benar berubah substansinya menjadi tubuh dan darah Krisfus. Perjamuan Kudus online tidak terlalu bermasalah bagi gereja-gereja yang menganut memorialisme (seperti gereja-gereja Baptis), sebab inti PK adalah peringatan akan kematian Kristus. Gereja-gereja berpaham Calvinis yang meyakini kehadiran Kristus secara spiritual dalam roti dan anggur yang diterima melalui iman juga terbuka pada PK online.

Masalahnya lebih kompleks bagi gereja-gereja yang berlatar belakang Lutheran. Unsur roti dan anggur tidak berubah substansinya menjadi tubuh dan darah Kristus melainkan ada di dalam, bersama, di bawah roti dan anggur. Pemahaman Lutheran mengenai kehadiran nyata (real presence) menekankan kesatuan Firman dan unsur ragawi dalam PK yang melibatkan “indera yang menyimak Firman Allah, hati yang mengimaninya, peristiwa ragawi dalam wujud makan dan minum bersama-sama”. Komisi Teologi GKPI periode 2015-2020 merekomendasikan agar PK tidak dilakukan secara daring karena bila terpisah tempat akan memecah keutuhan PK dalam persekutuan yang satu. Alasan lainnya: roti dan anggur yang dimediasi secara virtual di rumah-rumah tidak sama dengan roti dan anggur yang dilayankan pelayan tahbisan di komunitas yang beribadah dalam ruang dan waktu yang sama. Lagi pula, pelayan sakramen tidak punya hubungan langsung dengan anggota jemaat mengikuti PK secara virtual, dan tidak tahu bagaimana roti dan anggur diperlakukan oleh jemaat yang mengikuti secara virtual.

Pilihan yang dianjurkan adalah: menunda pelaksanaan PK, atau melakukannya secara bergelombang dalam ibadah, ataupun dilayankan di rumah atau di rumah sakit bagi mereka yang tidak dapat ke gereja karena sakit.

Menggereja, tak harus ke gereja?

Dalam kondisi serba tak pasti, sebagian pengamat mulai mengetengahkan opini mengenai hidup menggereja pasca-pandemi. Barry Howard, seorang kolumnis di Center for Healthy Churches, Amerika Serikat, berpendapat: “Being the church will become more important than going to church”. Bergereja secara bertatap muka masih tetap penting tetapi bukan yang terpenting. Diperkirakannya akan muncul model hibrida yang memadukan kehadiran ragawi dan partisipasi virtual.

Prediksi Howard dan sejenisnya bukanlah tanpa alasan. Tren yang sudah terbaca memperlihatkan kesenjangan antar-generasi yang sangat nyata antara generasi muda dan generasi yang lebih tua, antara digital native warga dunia maya yang sehari-hari berselancar dan bersosialisasi secara digital vs. digital immigrant, generasi pendatang yang berpindah ke dunia maya namun tak sepenuhnya at home. Belum terhitung di dalamnya generasi berusia tujuh puluh tahun ke atas yang menyusul secara tertatih-tatih, atau tidak lagi berminat untuk beradaptasi pada cyberspace.

Di era pandemi yang menawarkan begitu banyak pilihan, dalam urusan ibadah pun loyalitas kepada satu jemaat tak lagi menjadi komitmen warga dunia digital. Di kalangan pendeta GKPI saja, kita melihat tautan-tautan ibadah minggu secara livestreaming dibagikan sebagai undangan untuk berpartisipasi bagi warga yang tidak sejemaat. Bukan rahasia lagi – seperti yang disampaikan beberapa warga jemaat secara pribadi – fenomena “church shopping” (pilih-pilih gereja seperti di pasar) dan “church hopping” (melompat dari satu gereja ke gereja lain) sudah biasa terjadi.

Penutup

Tinjauan di atas menawarkan hanya beberapa refleksi mengenai hidup menggereja di era disrupsi digital, terutama yang terkait dengan aspek ibadah. Berbagai aspek pelayanan dan kesaksian gereja di era baru yang amat menantang ini belum disentuh. Meskipun terbatas, implikasinya cukup  jelas: GKPI diajak untuk turut membaca tanda-tanda zaman, berbenah diri dan mempersiapkan para pelayan di era baru yang sedang menyaksikan pergeseran nilai-nilai secara masif. Semoga tahun 2021 yang dicanangkan sebagai tahun pelatihan pelayan menjadi awal baru untuk pelatihan dan pembekalan SDM secara berkesinambungan di seluruh aras dan bidang pelayanan GKPI.

Bacaan pilihan:

Darrel L. Bock, Jonathan J. Amstrong, Virtual Reality Church (Jakarta, 2021).

Heidi A. Camp (ed.), Digital Ecclesiology: A Global Conversation (Digital Relations Publication).

Sutan M. Hutagalung, Pemberian adalah Panggilan (ed. Rainy M.P. Hutabarat, P. Hasudungan Sirait; Jakarta, 2013).

Komisi Teologi GKPI, “Perjamuan Kudus di Masa Covid 19” (2020).

Andar M. Lumbantobing, Melayani, Bukan Untuk Dilayani (Jakarta, 2017).

Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI (Pematangsiantar, 1991).

Pontifical Council for Social Communications, The Church and Internet (2002). Diunduh 23 Agustus 2021: https://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/pccs/documents/rc_pc_pccs_doc_20020228_church-internet_en.html

Antonio Spadaro, Cybertheology: Thinking Christianity in the Era of the Internet (New York, 2014).

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *