(Menuju Gereja Ramah Anak)

Oleh Pdt. Jimmy Simangunsong, S.Si.Teol (Jimm Song)

(Pendeta GKPI Jemaat Khusus Citra Raya, Wilayah XI Jabodetabek-Jawa-Kalimantan)

Gereja Ramah Anak

Brand “The Sunday School Creativity Center” by GKPI JK Citra Raya.

Tepatnya pada hari Minggu, 31 Juli 2022, telah dilaksanakan peresmian sebuah tempat khusus bagi Anak Sekolah Minggu (ASM) oleh Pendeta GKPI Jemaat Khusus Citra Raya, Pdt. Jimmy Simangunsong, S.Si.Teol. Tempat khusus tersebut kami namai: The Sunday School Creativity Center (Pusat Kreativitas Sekolah Minggu). Kesadaran akan begitu penting dan mendesaknya perhatian khusus terhadap perkembangan iman ASM jaman sekarang ini telah mendorong jemaat GKPI Jemaat Khusus Citra Raya untuk bersama-sama mempersembahkan berkat-berkatnya untuk merealisasikan pembangunannya. Kepanitiaan diketuai oleh Bp. D.T. Lumbanbatu, Ibu M. br. Sihombing (Sekretaris) dan Ibu B. br. Sirait (Bendahara). Dalam pada itu, kita juga bersyukur atas partisipasi keluarga Pnt. B. Sianturi/Pnt. br. Siregar yang telah berkenan memberikan lokasi tanahnya untuk dipakai sementara bagi pembangunan The Sunday School Creativity Center ini.

Pendeta Jemaat Khusus Citra RayaPdt. Jimmy Simangunsong bersama Pengurus Jemaat dan warga jemaat memotong pita tanda meresmikan The Sunday School Creativity Center

Arsitektural bangunan The Sunday School Creativity Center ini mengambil bentuk tenda atau pondok, yang kami maknai sebagai simbol perjalanan bangsa Israel di padang gurun menuju tanah perjanjian, tanah Kanaan. Dalam perjalanan selama di padang gurun itu, bangsa itu mendirikan pondok atau tenda. Di pondok/tenda itu bukan saja orang dewasa tinggal, tetapi juga bersama anak-anak. Sesungguhnya anak-anak pun ikut terlibat dalam perjalanan iman bangsa Israel dalam mengenal dan merasakan kehadiran Allah. Tampak dalam pengembaraan ini, Allah juga memerhatikan pemeliharaan iman anak-anak. Kitab Ulangan 6: 6-9 membuktikannya :

“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.”

Foto Ibadah Peresmian The Sunday School Creativity Center bersama para panitia, penatua, dan jemaat.

Maka pondok/tenda bangsa Israel dalam Kitab Ulangan menjadi inspirasi bagi Gereja untuk senantiasa memerhatikan pertumbuhan iman ASM agar mereka juga mengenal dan merasakan Cinta Allah yang tak pernah habis di dalam proses perkembangan kehidupan mereka, sehingga mereka pun dimampukan mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan kekuatannya serta mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri (Ul. 6:5, Mat. 22: 37-39). Sebagaimana ditegaskan oleh Douglas McConnel (“Understanding God’s Heart for Children”, 2007) :

“Gereja harus menjadi tempat di mana anak-anak secara dinamis dapat berhubungan dengan Allah dan terikat dalam partisipasi yang bermakna: dimuridkan, diperlengkapi dan diberdayakan untuk kehidupan dan pelayanan. Sebagai anggota keluarga Allah, anak-anak harus dirawat sebagai putera dan puteri. Mereka merupakan bagian dari peringatan untuk saling mengasihi dan melayani.”

Di area sekililing pondok/tenda The Sunday School Creativity Center diatur penempatan beberapa alat-alat permainan dari ban berwarna-warni (dan harapannya ke depan lebih banyak lagi alat permainan). Area ini sengaja dibuat dalam rangka merayakan salah satu nature anak-anak yakni bermain. Bermain mengundang kreativitas (creativity). Kata creativity (kata kerja: to creat) berasal dari kata Latin creatus yang berhubungan dengan crescere, yang bermakna menghasilkan pertumbuhan/perkembangan. Dalam ranah teologi, creativity berhubungan dengan Allah yang senantiasa mencipta (to creat) segala ciptaan (creation). Dalam bermain, anak-anak diajak untuk merenungkan bahwa Allah adalah Allah yang senantiasa berkreasi, menghasilkan segala sesuatu yang baik bagi manusia (termasuk anak-anak) dan alam ciptaan-Nya. Melalui permainan, anak-anak diajak untuk berpartisipasi di dalam kreasi Allah, melalui daya imajinasi, intelegensi, seni, daya mengolah, dan potensi yang ada di dalam dirinya sendiri.

Permainan adalah bagian dari pendidikan iman ASM. Jean Piaget, sebagaimana dalam Thomas H. Groome (“Christian Religious Education”, 2011, 367) mengatakan bahwa: “Tujuan pendidikan yang utama adalah untuk menciptakan orang-orang yang mampu melakukan hal-hal baru, tidak hanya mengulangi apa yang generasi-generasi lain telah lakukan – orang-orang kreatif, inventif, dan penemu-penemu. Tujuan pendidikan yang kedua adalah membentuk pikiran-pikiran yang kritis, dapat membuktikan, dan tidak menerima semua yang ditawarkan. Bahaya terbesar adalah slogan-slogan, opini-opini kolektif, “cara berpikir yang telah jadi”.”

Pembangunan The Sunday School Creativity Center diharapkan dapat menjadi salah satu contoh menuju Gereja Ramah Anak (Lihat artikel Pdt. Meri Ulina br. Ginting, M.Si.Teol, “Gereja Ramah Anak” dalam SUARA GKPI Edisi Agustus 2022, hlm. 6-9). Singkatnya, Gereja Ramah Anak adalah Gereja yang menyambut dan berpihak pada kebutuhan dan kepentingan religiusitas anak-anak.

Pertobatan Cara Pandang Orang Dewasa Terhadap Anak

Jan Grobbelaar dalam artikelnya Doing theology with children: Some challenges for adult theologians (HTS 75[1], 2019) mengatakan bahwa orang dewasa harus segera bertobat dari cara pandangnya yang cenderung mengerdilkan anak-anak. Pemahaman keliru tentang anak-anak seringkali kita dapati di dalam gereja dan budaya. Orang dewasa dan anak-anak diperbandingkan secara oposisi biner: orang dewasa dianggap sebagai orang yang sudah sepenuhnya manusia, sudah matang, rasional, berkompeten, “theologians”, dan sejenisnya. Sedangkan anak-anak dianggap sebagai orang yang belum sempurna, belum sepenuhnya manusia, belum matang, belum dewasa, tidak berkompeten, irasional, “non-persons” atau “non-theologians”, secara spiritual belum matang, mendengarkan suara mereka tidak penting karena mereka belum dewasa. Karena pandangan yang adult-centered ini, maka pola relasi di antara orang dewasa dan anak-anak menjadi hierarkis; hanya orang dewasa yang bisa menjadi mentor bagi anak-anak, sebaliknya anak-anak tidak mungkin menjadi mentor bagi orang dewasa; hanya orang dewasalah yang berhak berteologi, dan anak-anak harus mengikuti cara orang dewasa berteologi sebab mereka tidak bisa mengenal dan merasakan kehadiran Allah tanpa (bimbingan) orang dewasa.

Pandangan keliru ini harus segera diluruskan. Dasarnya apa? Pertobatan cara pandang/sikap orang dewasa terhadap anak-anak tersebut didasarkan pada pernyataan Yesus yang terasa amat jelas:

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat. 18:3).

Kiranya deskripsi Gutierrez (1990) menyangkut pertobatan (conversion) dalam hubungan dengan berteologi pembebasan (doing liberation theology) bersama kaum miskindapat diaplikasikan juga dengan usaha berteologi bersama anak-anak (doing theology with children) :

“Pertobatan (conversion) berarti meninggalkan cara pandang sendiri [bdk. Luk. 10: 25-37] dan memasuki cara pandang orang lain, tetangga dan terutama kaum miskin [anak-anak] di mana kita berjumpa dengan Tuhan [bdk. Mat. 25: 31-45]…”.

Perjumpaan dengan Tuhan adalah bagian dari perjumpaan dengan dunia anak-anak. Pernyataan Yesus yang senada dengan Mat. 25: 31-45 ditegaskan di Mat. 18: 5, “Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” Di dalam dan melalui dunia anak-anak, Allah sendiri menjadi tuan rumah (host). Dalam pada itu, perjumpaan dengan Allah di dalam dan melalui dunia anak-anak akan membawa keuntungan yang bersifat timbal-balik di antara orang dewasa dan anak-anak.

Foto keceriaan Aanak Sekolah Minggu bersama orang tua selepas peresmian  The Sunday School Creativity Center

Keuntungannya bagi orang dewasa ialah kedewasaan rohani (spiritual maturity) mereka semakin nyata dengan belajar “menjadi seperti anak kecil” (becoming like a child), sebagaimana nasehat Yesus dalam Mat. 18: 3-5. Dengan belajar becoming like a child, orang dewasa akan dimampukan menjadi pembimbing (mentor) yang lebih baik bagi anak-anak. Dan, di sini jugalah keuntungannya bagi anak-anak, yaitu mereka justru akan sangat terbantu memahami dan menjadi diri mereka sendiri berkat pertolongan bimbingan orang dewasa, yang pada gilirannya juga menolong anak-anak menjadi pembimbing (mentor) yang lebih baik bagi orang dewasa tersebut. Maka, kita melihat di sini bahwa orang dewasa dan anak-anak adalah sama-sama pembimbing dan yang dibimbing satu sama lain. Mereka sama-sama co-theologians, sesama rekan-sahabat yang saling belajar bersama mengenal dan merasakan kehadiran Allah dan Cinta-Nya di dalam hidupnya. Dengan demikian, orang dewasa dan anak-anak adalah mitra yang sejajar (equal participants) di dalam ruang hospitalitas Allah.      

Kita tertantang untuk mengubah paradigma dalam memandang anak-anak, sebagaimana tesis Miller-Mclemore (2003) tentang reimagining children, yakni:

“Anak-anak mesti sepenuhnya dihargai sebagai person, dinilai sebagai rahmat/anugerah, dan dipandang sebagai agen perubahan”.

Berteologi bersama dengan anak-anak (doing theology with children) memang hanya dapat dilakukan dengan a ground-up angle of vision (sebuah sudut pandang dari bawah ke atas). Dengan demikian, kiranya pula model Shared Christian Praxis (Berbagi Praksis Kristen) amat baik untuk dipergunakan dalam pendidikan iman Kristiani bagi ASM, sebagaimana diperkenalkan oleh Thomas H. Groome (Christian Religious Education – Pendidikan Agama Kristen, 2011). Lima gerakan berbagi praksis yang mewujudkan kesetaraan di antara orang dewasa dan anak-anak, dialog dan solidaritas, mendengarkan suara anak-anak (pengalaman hidupnya, dll) dengan lebih sungguh, antara lain: pertama, para partisipan (ASM) diminta mengungkapkan kegiatan mereka berhubungan dengan topik perhatian (tindakan masa kini); kedua, ASM diminta merefleksikan mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan, dan apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi atau yang diharapkan dari tindakan-tindakan mereka (refleksi kritis); ketiga, pembimbing (orang dewasa) mengemukakan Cerita komunitas Kristen yang berhubungan dengan topik yang sedang dibicarakan dan respons iman yang dimintanya (Cerita dan Visinya –Alkitab/Tradisi Kristen) kepada kelompok ASM; keempat, para partisipan (ASM) diminta untuk memakai Cerita bagi kehidupan mereka dalam dialektika dengan cerita-cerita mereka (dialektika antara Cerita dan cerita-cerita); kelima, ada kesempatan memilih respons iman pribadi bagi masa depan (dialektika antara Visi dan visi-visi).

Semoga Gereja-gereja GKPI di Indonesia semakin terpacu mengembangkan pelayanan dan pendidikan yang terbaik bagi ASM demi kemuliaan nama Tuhan Yesus. Hidup ASM GKPI!


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *